BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalaml krisis ekonomi yang terus berkelanjutan. Pada diakhir 1997, suku bunga untuk jangka waktu bulanan di Bank umum tercatat 23%, nilai ini naik sekitar 36% dibandingkan tahun sebelumnya, kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu terjadinya "Perang" suku bunga antar bank, untuk mengatasi hal itu perbanas, organisasi bank-bank nasional, mengajukan tiga usul kepada Bank Indonesia. Pertama: Suku bunga di biarkan bebas berdasakan mekanisme pasar, Kedua: mengacu pada jibor, Ketiga berdasarkan patokan suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI), usulan terakhir yang akhirnya disetujui Bank Indonesia. Pada tahun 1998 suku bunga SBI mencapai puncaknya 70,7% namun masa keemasan buat para deposan berakhir berangsur-angsur, sejalan dengan penurunan SBI oleh Bank Indonesia (Jullanery, 2002). Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hasil lelang pada awal Januari tahun 2004 sudah berada pada tingkat 7,48% untuk SBI yang berjangka satu bulan diperkirakan baliwa angka 7% untuk rata-rata tertimbang tingkat diskonto (suku bunga) pun bisa pecah tahun ini. Pada akhir bulan Januari 2004, lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) memunculkan suatu kejutan baru. Suku bunga SBI mengalami penurunan yang cukup tajam, sebesar 20 basis poln, yaitu dari 8,06% menjadi 7,86%. Penurunan yang tajam tersebut memang merupakan hasil interaksi antara, likuiditas pasar yang berlebih dengan arah penetapan terlihat nyata. dari persentase permintaan lelang yang diambil, yaitu hanya 77%. Ini berarti, jika persentase yang diambil Bank Indonesia lebih besar, penurunan bunganya pun juga akan lebih besar. Karena, itu pencapaian suku bunga SBI sebesar 7,86% tersebut tampaknya sudah merupakan hasil yang cukup optimal. Namun dalam jangka yang lebih panjang suku. bunga SBI tetap akan banyak dipengaruhi oleh persepsi pemilik dana, baik yang berasal dalam negeri maupun luar negeri. Bagi pemilik dana, dalam negeri tingkat suku bunga tersebut akan mereka bandingkan dengan tingkat inflasi. Jika suku bunga nominal bersih lebih rendah dan tingkat inflasi, mereka akan menenima suku bunga riil yang negatif Sementara itu, bagi pemilik dana dari luar negeri, penerimaan tersebut akan mereka ukur dalani mata uang asal dan inflasi dinegara mereka. Dari kedua sumber dana tersebut, yang tampak mendekati titik kritis adalah sumber dana dari dalam negeri (Harinowo, 2004).
Masa kritis 100 hari kabinet Indonesia bersatu telah berlalu, tak ada prestasi signifikan yang bisa dibanggakan. Namun, harapan terbentuknya Indonesia baru yang bersatu dan maju, tetap bertumpu di pundak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rupiah membenikan sambutan positif saat presiden pertama di Indonesia yang dipilih secara langsung itu dilantik. Kurs rupiah menguat sehingga di bawah Rp. 9.000,-/US$, tapi apreslasi itu bersifat sementara. Im kurs rupiah susah sepertinya berangsur dari kisaran Rp. 9.300,/US$ dalam situasi seperti itu sudah seharusnya mulai pasang kuda-kuda bila trend itu terus berlanjut, atau malah menjurus pada depresiasi, apabila Bank Central Amerika Federal Reserve (The Fed) yang pada Februari lalu yang telah menaikkan suku bunganya menjadi 2,5%, memberl isyarat akan menaikkan bunganya lagi hingga 3,5 -4%. Kenaikkan ini akan berdampak pada suku bunga di banyak negara termasuk Indonesia. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) akan melonjak untuk menahan kelemahan kurs rupiah lebih lanjut.
Kebijakan BI bertujuan untuk mengerem peredaran rupiah, sehingga tidak dipermainkan speiculan. Kalau kita certnati lagi masih ada satu alternatif kebijakan lagi untuk menguatkan kurs rupiah. Yaitu meningkatkan suku bunga SBI sehingga rupiah kemball diburu dan kernudian mengalami apresiasi, namun kebijakan itu kurang popular karena bisa melumpuhkan sektor riil. Kebijakan ini baru akan efektif bila. ada koordinasi dengan kebijakan fiskal (Media Indonesia, 2005).
B. Perumusan Masalah.
Bagaimana pola kausalitas antara suku bunga SBI dengan kurs maka diangkat permasalahan apakah suku bunga SBI mempengaruhi kurs atau kurs mempengaruhi suku bunga SBI ataukah suku bunga SBI dan kurs saling mempengaruhi.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs.
2. Untuk mengetahui pola kausalitas antara tingkat suku bunga SBI dengan kurs selama periode 1998.1 sampai 2003.12.
3. Penulisan ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian sejenis.
4. Penulisan ini juga sebagai tugas akhir semester mata kuliah ekonomi internasional.
5. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi data-data bagi rekan-rekan selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
Permintaan dalam ilmu ekonomi adalah kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. Permintaan suatu barang sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan harga barang tersebut, sebab apabila harga barang naik sedangkan pendapatan tidak berubah maka permintaan akan barang tersebut turun atau berkurang, demikian pula sebaliknya harga barang turun, sedangkan jika pendapatan tidak berubah maka permintaan barang akan mengalami kenaikan atau bertambah (Soekirno, 1985).
Valuta asing disebut juga foreign exchange (forex) atau foreign currency adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transaksi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral (Khalwaty, 2000). Menurut Salvatore (1997) valuta asing merupakan arti penting uang secara eksplisit yang dimasukan ke dalam perhitungan, sehingga harga-harga komoditi dinyatakan dalam satuan mata uang domestik dan mata uang luar negeri. Mata uang dalam valuta asing dibedakan menjadi dua kelompok mata uang, yaitu:
1. Hard currency adalah mata uang yang mempunyai nilai relatif stabil, tidak sering mengalami apresiasi (kenaikkan nilai) atau depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Hard currency merupakan mata uang yang dipilih dan digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Yang termasuk hard currency adalah mata uang dari negara-negara industri maju seperti Dollar Amerika Serikat (USD), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris (GPB).
2. Soft currency adalah mata uang lemah yang kurang laku atau jarang digunakan sebagai alat pembayaran atau satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional karena nilainya relatif kurang stabil serta sering terdeprisiasi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang negara-negara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitif terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah negara bersangkutan termasuk terhadap perubahan-perubahan sosial ekonomi internasional. Nilai tukar valuta asing (kurs) adalah harga uang asing dalam satuan mata uang domestik (Samoelson, 1995: 450). Perdagangan antara negara dimana masing-masing mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut nilai tukar valuta asing (Boediono, 1981).
Disamping berperan dalam perdagangan internasional, kurs juga berperan dalam perdagangan valuta asing pada suatu negara atau antar negara sebab valuta asing juga merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan. Bagi negara yang kurang kuat nilai mata uangnya maka valuta asing merupakan alternatif investasi bagi masyarakat di negara tersebut Permintaan dan penawaran valuta asing terjadi karena ada transaksi ekspor dan impor baik modal, barang maupun jasa. Semakin besar volume ekspor dan impor akan semakin besar pula jumlah valuta asing yang dibutuhkan serta akan semakin banyak pula jenis valuta asing yang dibutuhkan sesuai dengan banyaknya negara yang menjadi mitra transaksi.
Permintaan suatu negara terhadap valuta asing bersumber pada impor barang atau jasa dan terjadinya ekspor modal (capital export) dan transfer valuta asing untuk berbagai kepentingan lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. Untuk pembayaran barang dan jasa yang impor, importir memerlukan valuta asing. Semakin banyak barang atau jasa yang diimpor akan semakin banyak pula suatu negara membutuhkan valuta asing. Akibatnya, kurs valuta asing akan meningkat jika dibandingkan dengan uang lokal. Sebaliknya, semakin banyak suatu negara melakukan ekspor modal dan transfer valuta asing untuk be rbagai kepentingan di luar negeri, ini akan meningkatkan kurs valuta asing jika dibandingkan dengan uang lokal atau domestik (Khalwaty, 2000).
Sumber-sumber permintaan valuta asing dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Para importir barang dan jasa
2. Para investor yang memerlukan valuta asing untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban luar negerinya yang timbul dari transaksi-transaksi pembelian surat-surat berharga dari penduduk negara lain atau transaksi pemberian pinjaman kepada penduduk negara lain.
3. Para debitur dalam negeri yang memerlukan valuta asing untuk melunasi kewajiban-kewajiban luar negerinya yang telah jatuh tempo atau untuk membayar bunga pinjaman luar negerinya.
4. Wisatawan-wisatawan dalam negeri yang akan melawat ke luar negeri.
5. Perusahaan-perusahaan asing yang harus membayar deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham di luar negeri.
6. Rumah-rumah tangga keluarga yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai studi anggota keluarganya yang belajar di luar negeri.
7. Pemerintah yang membutuhkan valuta asing untuk membiayai perwakilan-perwakilannya di luar negeri, untuk menyelesaikan hutang-hutang luar negerinya yang telah jatuh tempo.
8. Para spekulan yang misalnya saja meramalkan akan adanya tindakan kebijakan devaluasi, mempunyai tendensi untuk berlomba -lomba membeli valuta asing.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang merupakan sumber permintaan valuta asing adalah semua transaksi luar negeri otonom debit. Sedangkan semua transaksi luar negeri otonom kredit merupakan sumber penawaran valuta asing (Soediyono, 1991).
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. SUKU BUNGA DAN PERMINTAAN VALUTA ASING
Pemahaman tentang teori dan teknik pengujian tentang pengaruh inflasi dan suku bunga terhadap perubahan permintaan valuta asing sangat penting bagi para pelaku di bursa valas agar dapat menghasilkan proyeksi kurs yang akurat, tidak menyimpang jauh dari kenyataan. Teori dan studi empiris yang menjelaskan tentang bagaimana permintaan valas bereaksi terhadap perubahan tingkat inflasi dan suku bunga, terdapat tiga macam teori paritas (teori keseimbangan), yaitu Teori Paritas Suku Bunga (Interest Rate Pariety Theory = IRP Theory), Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Pariety Theory = PPP Theory), Teori Efek Fisher Internasional (International Fisher Efect Theory). Ketiga macam teori tersebut menunjukkan adanya hubungan yang berbeda tentang perubahan tingkat inflasi dan suku bunga terhadap reaksi perubahan permintaan valas. Dengan adanya hubungan yang berbeda tersebut, terlihat adanya pertentangan antara ketiga teori tersebut yang dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masing-masing teori mempunyai keunggulan dan kelemahan yang apabila digunakan secara bersama-sama akan memperluas wawasan dalam mengkombinasikannya dari segi positif. Dengan melihat keunggulannya akan dapat menghasilkan suatu proyeksi yang paling cermat dengan tingkat resiko yang paling kecil (Khalwaty, 2000).
1.Interest Rate Pariety Theory
Dengan menggunakan teori paritas suku bunga dapat diketahui hubungan antara bursa valas dan pasar uang internasional Interest Rate Pariety Theory (IRPT) paling banyak digunakan dalam literatur keuangan internasional yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga pada pasar keuangan internasional mempunyai kecenderungan yang sama dengan forward rate premium atau forward rate discount. IRPT menekankan pada perbedaan antara kurs forward dan kurs spot yang tercermin dari perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara. Kurs forward mata uang suatu negara yang mengandung premi ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga antar negara. Akibatnya arbitrase suku bunga yang ditutup akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan suku bunga domestik. Variabel yang digunakan pada IRPT adalah premi forward dan perbedaan suku bunga antar dua negara (Khalwaty, 2000). Untuk mengetahui hubungan antara foreign country premium (fr premium) dan forward rate discount dari suatu valas dan tingkat suku bunga di pasar uang dapat digunakan rumus :
An=Ah/SR(1+if)FR
Keterangan :
An = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang akan diterima pada akhir suatu periode investasi.
Ah = Amount, yaitu jumlah uang dalam negeri yang diinvestasikan dalam periode tertentu.
If = Interest Rate, yaitu tingkat suku bunga deposito di luar negeri.
Sr = Spot Rate.
FR = Forward Rate.
2. Purchasing Power Parity Theory
Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity Theory = PPPT) digunakan untuk menganalisa pengaruh inflasi antara dua negara terhadap kurs valas. PPPT disebut juga Teori Paritas Daya Beli, Teori Keseimbangan Daya Beli atau Teori Kesamaan Daya Beli yang di ciptakan oleh Gustav Cassel setelah Perang Dunia II. Variable-variabe yang digunakan dalam PPPT adalah perubahan kurs spot dalam persentase dan perbedaan laju inflasi antar dua -negara. Menurut PPPT, kurs spot suatu valas akan berubah sebagai reaksi terhadap inflasi antara dua negara yang mengakibatkan daya beli seseorang ketika dia belanja di negara sendiri akan sama dengan mereka belanja di luar negeri. Kurs valas cenderung mengalami perubahan kearah rasio daya beli antara dua mata uang dalam jangka panjang (Khalwaty, 2000).
3. International Fisher Effect Theory
IRPT memfokuskan pembahasannya pada penyebab terjadinya perbedaan antara kurs forward dengan kurs spot yang dapat mencerminkan perbedaan antara tingkat suku bunga antara dua negara dalam suatu periode tertentu. Sedangkan pada PPPT dan International Fisher Effect Theory (IFET) memfokuskan pembahasannya pada bagian kurs spot berubah sepanjang waktu. International Fisher Effect Theory memprediksikan bahwa kurs spot bergerak mengikuti perbedaan suku bunga antar negara. Dengan demikian terdapat hubungan antara International Fisher Effect Theory dengan PPPT, karena perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dipengaruhi oleh perbedaan tingkat inflasi antar negara (Khalwaty, 2000).
a. Effect Theory
Analisis IFET menggunakan variable -variabel dasar persentase perubahan kurs spot dan perubahan suku bunga antar dua negara. IFET berdasar pada teori Irving Fisher yang menyatakan bahwa tingkat bunga mominal (i) di setiap negara akan sama dengan Real Rate Return (r) di tambah dengan tingkat inflasi yang diharapkan (I). Secara formulatif, teori Irving Fisher adalah
i = r + Inflasi
Teori Effek Fisher menjelaskan bahwa tingkat suku bunga pada dua negara yang berbeda akan terjadi akibat adanya perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan. IFET didasarkan pada teori effek Fisher yang pada prinsipnya mirip dengan IRPT, karena menggunakan perbedaan tingkat suku bunga dalam menjelaskan sebab-sebab terjadinya perubahan kurs valas. Jadi perbedaan tingkat suku bunga yang terjadi antara beberapa negara baik menurut PPPT maupun International Fisher Effect Theory antara lain disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi (Khalwaty, 2000).
b. Kelemahan IFET
IFET sebenarnya memliki beberapa kalemahan yang harus dicermati saat kita memprediksikan fluktuasi kurs yang disebabkan pengaruh inflasi dan suku bunga antar-dua negara. Kelemahan IFET antara lain (Khalwaty, 2000) :
1) Hasil perhitungan kurs valas tidak selalu tepat dan validitasnya tidak selalu dapat dibuktikan karena inflasi mempengaruhi perubahan valas. Akibatnya perubahan kurs tidak selalu sama dengan perubahan tingkat inflasi.
2) Selain pengaruh inflasi yang dominan terhadap fluktuasi kurs valas, harus dicermati pula pengaruh dari kontrol otoritas moneter, posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, produk domestik bruto, permintaan dan penawaran valas serta sentimen bursa valas yang tidak masuk dalam variabel perhitungan pada IFET.
3) Berdasarkan hasil uji empirik, perbedaan tingkat inflasi antara dua negara yang dijadikan variabel dalam memprediksi fluktuasi kurs valas pada IFET tidak selalu memberi hasil yang akurat. Penyebabnya tidak dimasukkannya variabel-valiabel lain yang turut berpengaruh seperti perbedaan tingkat suku bunga antar dua negara dan kebijakan ekonomi makro.
4. International Parity Condition
Menyadari kelemahan-kelemahan mendasar dari IRPT, PPPT dan IFET yang digunakan dalam memprediksi kurs valas sejak digunakan sistem kurs mengambang, para pakar terus berusaha mengatasi dari kelemahan teori tersebut.
Dengan menganalisis Parity Condition, investor yang menginginkan keuntungan jangka pendek harus melakukan investasi atau piutang dalam valas dengan tingkat bunga yang relatif tinggi dengan kecenderungan berapresiasi. Sebaliknya, jika ia meminjam atau berhutang valas hendaklah ia memilih tingkat bunga yang relatif rendah serta mempunyai kecemderungan akan terdepresiasi. Dengan Parity Condition Analisys akan diketahui sebab-sebab terjadinya kenaikan tingkat suku bunga. Dengan menaikkan tingkat suku bunga pemerintah dapat mengurangi JUB. Tingkat suku bunga kredit yang tinggi dapat digunakan untuk membayar biaya bunga. Tingkat inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah akan mendorong investasi dan selanjutnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional secara proposional (Khalwaty, 2000).
B. PERMINTAAN UANG KEYNESIAN
Keynes memiliki pandangan bahwa permintaan uang ditentukan oleh tiga tujuan yaitu (i) Untuk membiayai transaksi, (ii) untuk berjaga-jaga, dan (iii) untuk spekulasi. Dua tujuan yang utama ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan tujuan yang ketiga ditentukan oleh tingkat suku bunga, yang merupakan pendapatan yang diperoleh apabila uang yang tersedia untuk spekulasi dengan membungkan di bank atau membeli obligasi.
1. Permintaan Uang Untuk Transaksi
Baumol (1952) dan Tobin (1956) menjelaskan tendensi seseorang dalam menggunakan uang untuk tujuan transaksi dalam teorinya yang dikenal dengan An Inventory Theoretic Approach. Teori ini pada dasarnya menerangkan bahwa seseorang tidak akan mengunakan uang dalam bentuk tunai dan disimpan dirumah. Dia akan menyimpan uang di bank dan mengharapkan bunga dari simpanannya. Seringnya seseorang untuk pergi ke bank mengambil uangnya untuk membiayai transaksinya tergantung pada dua faktor yaitu : biaya untuk pergi ke bank dan bunga yang diperoleh dari menyimpan uang di bank.
2. Permintaan Uang Untuk Berjaga-jaga
Dalam jangka pendek dan jangka panjang seseorang perlu menyisihkan dana untuk berjaga -jaga. Dalam jangka panjang uang digunakan untuk membiayai hari tua dan biaya anak tidak akan disimpan dalam bentuk uang giral. Biasanya dana tersebut dalam bentuk investasi misalkan saham atau obligasi atau harta benda yang memiliki nilai lebih tinggi dimasa depan. Hal itu akan dilakukan untuk berjaga-jaga dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek fungsi uang untuk berjaga -jaga digunakan seseoarang dalam kondisi diluar biasanya. Misal seseorang yang naik berpergian dengan naik bis, dia akan membawa uang yang lebih tidak sekedar untuk perjalanan dan makan. Tetapi dia akan membawa uang yang lebih untuk berjaga-jaga jika ia kecopetan. Seperti halnya dalam mengunakan uang untuk transaksi, dana yang digunakan untuk berjaga-jaga ini akan selalu gigunakan secara efisien. Artinya orang akan rasional untuk mendapatan bunga dari uang yang tidak digunakan. Dengan demikian analisis An Inventory Theoretic Approach bisa diaplikasikan kepada cara pengunaan untuk kebutuhan berjaga-jaga.
3. Permintaan Uang Untuk Spekulasi
Seseorang akan selalu memikirkan memperoleh pendapatan dari kelebihan uang yang dimiliki. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk melakukan spekulasi. Dalam pandangan Keynes menjelaskan bahwa hubungan antara suku bunga dan permintaan uang akan bersifat negatif. Yaitu pada saat suku bunga tinggi permintaan uang semakin kecil dan pada saat suku bunga rendah permintaan uang semakin meningkat. Sifat yang demikian disebabkan oleh sifat permintaan uang untuk spekulasi yang sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Keynes dalam analisisnya memisalkan perekonomian hanya terdiri dari dua bentuk asset keuangan yaitu uang tunai dan obligasi. Karena orang memiliki persepsi yang berbeda tentang suku bunga normal, maka individu akan menentukan suku bunga yang relatif. Dengan demikian setiap individu akan menggantikan uang yang dispekulasikan dengan obligasi. Atau sebaliknya. Namun secara umum dapat dikatakan semakin tinggi suku bunga semakin banyak investor yang membeli obligasi dengan mengunakan uang yang disisihkan untuk spekulasi. Seseorang akan membeli obligasi apabila suku bunga yang berlaku sama dengan suku bunga normal. Apabila suku bunga normal berbeda dengan suku bunga yang berlaku individu tersebut akan melihat jika lebih tinggi ia akan tetap memegang obligasi. Dengan anggapan pada saat suku bunga kembali normal harga obligasi akan naik. Dan sebaliknya jika lebih rendah ia akan segera menjual obligasinya karena ia akan mendapat keuntungan yang lebih cepat.
D. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VALUTA ASING
1. Supply Foreign Currency
Valas atau forex sebagai benda ekonomi mempunyai permintaan dan penawaran pada bursa valas atau forex market. Sumber-sumber penawaran atau supply valas tersebut terdiri atas: (a) Ekspor barang dan jasa yang menghasilkan valas atau forex.(b) Impor modal atau capital import dan transfer valas lainnya dari luar negeri ke dalam negeri. Sedangkan sumber-sumber permintaan atau demand valas tersebut terdiri
atas: (a) Ekspor modal atau capital export dan transfer valas lainnya dari dalam negeri ke luar negeri. (b) Impor barang dan jasa menggunakan valas atau forex Sesuai dengan teori mekanisme pasar, setiap perubahan permintaan dan penawaran valas yang terjadi di bursa valas tentu akan mengubah harga atau nilai valas atau forex rate -nya.
2. Posisi Balance of Payment (BOP)
Balance of Payment atau neraca pembayaran internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang semua transaksi ekonomi internasioanal yang meliputi perdagangan, keuangan, dan moneter antara penduduk suatu negara dan peduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.
3. Tingkat Bunga
Pengaruh tingkat bunga dapat dijelaskan berikut ini. Dengan adanya reunifikasi Jerman, pemerintah Jerman memerlukan dana yang cukup besar untuk membangun wilayah eks Jerman Timur. Karena permintaan dana yang besar tersebut, pemerintah Jerman menaikan tingkat bunganya untuk menarik modal luar negeri ke Jerman, terutama dari USA. Banyaknya valas dalam bentuk USD akan masuk ke Jerman akan menyebabkan peningkatan permintaan DEM dan penawaran USD sehingga kurs valas atau forex rateDEM/USDberubah dari DEM2.00/USD menjadi DEM1.90/USD.
2. Ekspektasi dan Spekulasi
Pada dasarnya, ekspektasi dan spekulasi yang timbul di masyarakat akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akhirnya akan mempengaruhi kurs valas atau forex rate. Demikian pula halnya dengan isu dan rumor, misalnya sakitnya Presiden atau Menteri Keuangan dapat mempengaruhi sentimen dan ekspektasi masyarakat sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran valas yang akan berakibat pada fluktuasi kurs valas. Salah satu contoh kongkret adalah naiknya kurs USD, hingga mencapai sekitar Rp6.000/USD, karena adanya isu/rumor sekitar kesehatan Presiden pada bulan November/Desember 1997.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Valas atau forex sebagai benda ekonomi mempunyai permintaan dan penawaran pada bursa valas atau forex market. . Seseorang akan membeli obligasi apabila suku bunga yang berlaku sama dengan suku bunga normal. Apabila suku bunga normal berbeda dengan suku bunga yang berlaku individu tersebut akan melihat jika lebih tinggi ia akan tetap memegang obligasi. Dengan anggapan pada saat suku bunga kembali normal harga obligasi akan naik. Dan sebaliknya jika lebih rendah ia akan segera menjual obligasinya karena ia akan mendapat keuntungan yang lebih cepat.
Disamping berperan dalam perdagangan internasional, kurs juga berperan dalam perdagangan valuta asing pada suatu negara atau antar negara sebab valuta asing juga merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dickey, David and Wayne A. Fuller, 1979, "Distribution of Estimators for Autoregressive Time Series with a Unit Root", Journal of The American Statistic Assosiation,74
Engle , RF and C.W.J Granger, 1987, "Cointegration and Error Correction Representation, Estimation and Testing", Econometrica, 55
Gujarati, 1995, Basic Econometric, McGraw-Hill, New York
Insukindro, 1990, " Komponen Koefisien Regresi Jangka Pnjang Model Ekonomi: Sebuah Study Kasus Impor Barang di Indonesia", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 5 , No 2
Mussa, M, 1976, The Exchang Rate, The Balance of Payment and Monetary and Fiscal Policy Under a Regime of Controlled Floating", dalam The Economy of Exchange Rate : Selected Studies ,J. Frenkel dan Harry G. Jhonson (editor) Addison and Wesle, USA
http://kursrupiahindonesia.google.search.co.id
0 Response to "ANALISIS KAUSALITAS TINGKAT SUKU BUNGA SBI DENGAN KURS DI INDONESIA"
Posting Komentar