Makalah Ekonomi Politik:: KORUPSI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

PAPER


KORUPSI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI




OLEH :

JONI FERNANDES

07 / 85003

EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMISS

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2009


BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Paper ini akan membahas secara ringkas, bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?, dan bagaimana multiplier effect bagi efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?.

Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil mamfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK). Peraturan perundang-undangan (legislation) yang merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.

Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini. Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.

Memahami Makna Tindak Pidana Korupsi

Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope. Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly).

Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others.”

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto1, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan Almarhum Prof. Dr. Mubaryanto, merupakan Guru Besar Universitas Gajah Mada, yang mengabdikan dirinya pada pengkajian ekonomi rakyat melalui konsepsi ekonomi pancasila, yang tetapi kini hingga akhir hayatnya. Dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.

BAB II

KAJIAN TEORI

Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi

Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum.

Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi. Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif2. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi. Hal positif menurut Juwana, penggunaan dari UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga Negara, memperbaiki perekonomian dan lain sebagainya.

Sementara yang bersifat negative terjadi banyak di Negara berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau dictatorial. UU dengan konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negativedanbukanRuleofLaw.Hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya3. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.

Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil.

Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi

Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Lihat Makalah ,Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”,FH.UI. Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat.

Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah5, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan.

Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme.

Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi.

Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi yang lebih menyedihkan, kemunafikan anti korupsi lahir banyak di kelompok-kelompok penjaga moral bangsa seperti Agamawan dan Pendidik. Lihat saja korupsi di Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan. Bahkan kelompok-kelompok agama menjadi merupakan entitas paling munafik terhadap praktek korupsi ini.

Lihat UU tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi.

BAB III

PEMBAHASAN

Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi

Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial di pasar uang. Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi.

Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat.

Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.

Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.

Korupsi dan Desentralisasi

Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi.

Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD.

Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan6, dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut.

Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah7. Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi.Lihat harian Kompas, 13 juni 2006 ibid diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi.

Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi yang njelimet. Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.

Melawan Korupsi demi Pembangunan Ekonomi

Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan system tanggunggugat, dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas8 dengan batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa.

Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan9. Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit10. Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna.

Dengan asumsi pers yang bebas juga harus dibangun dari “kejujuran” yang anti terhadap praktik korupsi, seperti suap dan tidak menjadikan posisinya sebagai penekan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Indonesia kasus pers seperti ini jamak. Hampir seluruh dimensi tata pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan perilaku korup. Harus ada revolusi besar untuk melakukan perubahan signifikan yang men-delete kecenderungan tersebut.

Rancangan peraturan perundang-undang yang menghukum “mati” dan ancaman berat lainnya setidaknya bisa menjadi salah satu bentuk resiko tinggi tersebut, dengan catatan penegak hukum konsisiten terhadap aturan hukum tersebut. Shock therapy yang dilakukan pemerintah Cina rasanya perlu ditiru. Dibutuhkan political will dari banyak pihak dalam tata pemerintah untuk mewujudkan integritas nasional ini. Kebijakan ekstrim dan radikal diperlukan untuk melawan praktek korupsi di Indonesia. Misalnya; mengambil alih seluruh harta hasil korupsi, menghukum koruptor untuk melakukan pengabdian dalam jangka waktu panjang (seumur hidup) di daerah terpencil untuk memberikan pelatihan dan pendidikan di daerah terpencil dengan pengawasan ketat aparat hukum, karena biasanya para koruptor ini memiliki pendidikan dan keahlian mumpuni dibidangnya.

Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.

Biasanya resiko politik meruapakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi.

Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.

Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.

BAB IV

PENUTUP

Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena

pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “.

Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.

DAFTAR PUSTAKA

• Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.

• Harian Kompas, 13 juni 2006, Gramedia

• Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004

• Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”, Transparency International, 2000.

• Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan”, LPEM UI, 2003

• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

.Sudjijono, Budi.2008. Resesi Dunia dan Ekonomi Indonesia.Jakarta: Golden Terayon Press

Makalah Agribisnis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Akibat kekeliruan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang sangat parah dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan yang rendah, ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan yang keropos, utang luar negeri yang terlalu besar, kemerosotan mutu lingkungan hidup dan ketertinggalan perekonomian daerah merupakan sederetan masalah ekonomi yang sedang melilit perekonomian Indonesia.

Untuk memecahkan masalah ekonomi yang begitu kompleks, Indonesia memerlukan penajaman (focusing) strategi pembangunan ekonomi yang diharapkan mampu memberi solusi atas persoalan yang ada, tanpa menimbulkan persoalan baru. Oleh karena itu, strategi yang dipilih hendaknya memiliki karakteristik (attributes) sebagai berikut:

Pertama, strategi yang dipilih haruslah memiliki jangkauan kemampuan memecahkan masalah ekonomi yang luas sedemikian rupa, sehingga sekali strategi yang bersangkutan diimplementasikan, sebagian besar persoalan ekonomi dapat terselesaikan;

Kedua, strategi yang dipilih untuk diimplementasikan tidak mengharuskan penggunaan pembiayaan eksternal (pinjaman luar negeri dan impor) yang terlalu besar, sehingga tidak menambah utang luar negeri yang telah besar saat ini;

Ketiga, strategi yang dipilih hendaknya tidak dimulai dari nol, melainkan dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya, sehingga selain tidak menimbulkan kegamangan di dalam masyarakat, juga hasil-hasil pembangunan sebelumnya tidak menjadi sia-sia;

Keempat, strategi yang dipilih untuk diimplementasikan mampu membawa perekonomian Indonesia ke masa depan yang lebih cerah, di mana Indonesia mampu menjadi saling sinergis (interdepency economy) dengan perekonoian dunia dan bukan perekonomian yang tergantung (dependency economy) pada negara lain.

Di antara pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang ada, strategi pembangunan yang memenuhi karakteristik di atas adalah pembangunan agribisnis (Agribusiness Led Development) yakni suatu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan pertanian (termasuk perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan) dengan pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di dalamnya.

Strategi pembangunan sistem agribisnis yang bercirikan yakni berbasis pada pemberdayagunaan keragaman sumberdaya yang ada di setiap daerah (domestic resources based), akomodatif terhadap keragaman kualitas sumberdaya manusia yang kita miliki, tidak mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, berorientasi ekspor (selain memanfaatkan pasar domestik), diperkirakan mampu memecahkan sebagian besar permasalahan perekonomian yang ada. Selain itu, strategi pembangunan sistem agribisnis yang secara bertahap akan bergerak dari pembangunan yang mengandalkan sumberdaya alam dan SDM belum terampil (factor driven), kemudian beralih kepada pembangunan agribisnis yang digerakkan oleh barang-barang modal dan SDM lebih terampil (capital driven) dan kemudian beralih kepada pembangunan agribisnis yang digerakkan ilmu pengetahuan, teknologi dan SDM terampil (innovation-driven), diyakini mampu mengantarkan perekonomian Indonesia memiliki daya saing dan bersinergis dalam perekonomian dunia.

B. TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. memenuhi tugas akhir mata kuliah ekonomi agri bisnis
  2. memberikan gambaran tentang prospek agri bisnis di negara agraris indonesia
  3. sebagai acuan pengembangan agri bisnis
  4. menambah pemahaman penulis

BAB II PEMBAHASAN

  1. PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS DI INDONESIA

Dilihat dari berbagai aspek, seperti potensi sumberdaya yang dimiliki, arah kebijakan pembangunan nasional, potensi pasar domestik dan internasional produk-produk agribisnis, dan peta kompetisi dunia, Indonesia memiliki prospek untuk mengembangkan sistem agribisnis. Prospek ini secara aktual dan faktual ini didukung oleh hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pembangunan sistem agribisnis di Indonesia telah menjadi keputusan politik. Rakyat melalui MPR telah memberi arah pembangunan ekonomi sebagaimana dimuat dalam GBHN 1999-2004 yang antara lain mengamanatkan pembangunan keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara agraris dan maritim. Arahan GBHN tersebut tidak lain adalah pembangunan sistem agribsinis.

Kedua, pembangunan sistem agribisnis juga searah dengan amanat konstitusi yakni No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999 dan PP 25 tahun 2000 tentang pelaksanaan Otonomi Daaerah. Dari segi ekonomi, esensi Otonomi Daerah adalah mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan mendayagunakan sumberdaya yang tersedia di setiap daerah, yang tidak lain adalah sumberdaya di bidang agribinsis. Selain itu, pada saat ini hampir seluruh daerah struktur perekonomiannya (pembentukan PDRB, penyerapan tenagakerja, kesempatan berusaha, eskpor) sebagian besar (sekitar 80 persen) disumbang oleh agribinsis. Karena itu, pembangunan sistem agribisnis identik dengan pembangunan ekonomi daerah.

Ketiga, Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam agribisnis. Kita memiliki kekayaan keragaman hayati (biodivercity) daratan dan perairan yang terbesar di dunia, lahan yang relatif luas dan subur, dan agroklimat yang bersahabat untuk agribisnis. Dari kekayaan sumberdaya yang kita miliki hampir tak terbatas produk-produk agribisnis yang dapat dihasilkan dari bumi Indoensia. Selain itu, Indonesia saat ini memiliki sumberdaya manusia (SDM) agribisnis, modal sosial (kelembagaan petani, local wisdom, indegenous technologies) yang kuat dan infrastruktur agribisnis yang relatif lengkap untuk membangun sistem agribisnis.

Keempat, pembangunan sistem agribisnis yang berbasis pada sumberdaya domestik (domestic resources based, high local content) tidak memerlukan impor dan pembiayaan eksternal (utang luar negeri) yang besar. Hal ini sesuai dengan tuntutan pembangunan ke depan yang menghendaki tidak lagi menambah utang luar negeri karena utang luar negeri Indonesia yang sudah terlalu besar.

Kelima, dalam menghadapi persaingan ekonomi global, Indonesia tidak mungkin mampu bersaing pada produk-produk yang sudah dikuasai negara maju. Indonesia tidak mampu bersaing dalam industri otomotif, eletronika, dll dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman atau Perancis. Karena itu, Indonesia harus memilih produk-produk yang memungkinkan Indonesia memiliki keunggulan bersaing di mana negara-negara maju kurang memiliki keunggulan pada produk-produk yang bersangkutan. Produk yang mungkin Indonesia memiliki keunggulan bersaing adalah produk-produk agribisnis, seperti barangbarang dari karet, produk turunan CPO (detergen, sabun, palmoil, dll). Biarlah Jepang menghasilkan mobil, tetapi Indonesia menghasilkan ban-nya, bahan bakar (palmoil diesel), palmoil-lubricant.

Namun dari segi potensi pasar (demandside), pengembangan sistem agribisnis di Indonesia juga prospektif dengan alasan-alasan berikut ini

Pengeluaran terbesar penduduk dunia adalah untuk barang-barang pangan (makanan, minuman), sandang (pakaian), papan (bahan bangunan dari kayu, kertas), energi serta produk farmasi dan kosmetika. Kelima kelompok produk tersebut merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat dunia. Sebagian besar dari kelompok produk tersebut dihasilkan dari agribisnis. Bahkan melihat kecenderungan perubahan di masa depan, agribisnis merupakan satu-satunya harapan untuk menyediakan kelima kelompok produk tersebut.

Di bidang pangan, kemampuan negara-negara maju untuk menghasilkan bahan pangan makin terbatas, baik karena kelangkaan lahan maupun karena kalah bersaing dengan produkproduk non agribisnis. Hasil penelitian FAO mengungkapkan bahwa pertumbuhan produksi bahan pangan dunia ke depan akan mengalami penurunan. Pada periode tahun 1970-1990, pertumbuhan pangan dunia masih mampu mencapai 2,3 persen per tahun, pada periode 1990- 2010 pertumbuhan pangan dunia akan turun menjadi 1,8 persen per tahun

Penurunan produk pangan dunia akan lebih cepat terjadi pada produksi bahan pangan ikan dan daging sapi. Dari 17 wilayah penangkapan ikan dunia saat ini, hanya tiga wilayah penangkapan ikan (termasuk perairan Indonesia) yang masih dapat dieksploitasi (under fishing), sedangkan wilayah lainnya sudah over fishing. Kemudian, penurunan produksi daging sapi dunia akan terjadi terutama akibat munculnya penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku, antraks di daratan Eropa akhir-akhir ini. Perlu dicatat bahwa hanya lima negara yakni, USA, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Indonesia yang diakui dunia sebagai negara yang bebas penyakit hewan berbahaya (yang berarti hanya negara tersebut bebas mengekspor ke negara lain).

Kecenderungan situasi pangan dunia masa depan tersebut memberi peluang bagi agribisnis Indonesia. Indonesia yang masih memiliki ruang gerak luas dalam pengembangan agribisnis bahan pangan berkesempatan untuk memperbesar pangsanya di pasar internasional.

Di bidang barang-barang serat (tekstil, barang-barang karet, kertas, bahan bangunan dan kayu) sedang terjadi beberapa perubahan yang makin menguntungkan Indonesia ke depan. Makin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup telah mendorong masyarakat dunia mengkonsumsi barang-barang yang bersifat bio-degradable. Hal ini akan menggeser penggunaan produk petro-fiber baik dalam industri tekstil maupun dalam industri barang-barang dari karet. Penggunaan karet sintetis yang kini mencapai 60 persen dalam industri barang-barang karet dunia akan beralih pada penggunaan karet alam. Demikian juga penggunaan petro-fiber yang mendominansi berbagai bahan baku benang industri tekstil dunia, akan digantikan oleh bio-fiber (serat tanaman) seperti rayon. Sementara itu, produk kertas dunia juga sedang bergeser dari dominansi negaranegara Skandinavia ke negara tropis termasuk Indonesia yang secara alamiah paling efisien memproduksi serat alam. Kecenderungan pasar serat dunia yang demikian akan memberi peluang bagi Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi serat alam.

Di bidang energi dunia juga sedang terjadi perubahan yang fundamental. Selama ini sumber energi utama dunia adalah dari sumberdaya mineral (petroleum). Namun cadangan minyak dunia makin tipis, bahkan menurut OECD Outlook 2001, persediaan minyak dunia tahun 2001 berada pada titik terendah. Sementara alternatif energi seperti energi nuklir terbukti beresiko tinggi (kasus Rusia, Jepang). Hal ini memicu harga minyak dunia meningkat menjadi US$ 25-30/barel. Kelangkaan energi dunia ini memberi kesempatan untuk mengembangkan bio-energi seperti palmoil-diesel (dari minyak sawit), ethanol (dari tebu). Hal ini memberi prospek baru bagi Indonesia sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Kelangkaan petro-energi tersebut juga akan berdampak pada industri-industri yang berbasis pada petro kimia, seperti pupuk, pestisida, detergent, dll. Industri petro-pesticida akan bergeser kepada bio-pesticide, industri petro-detergent akan beralih pada bio-detergent dan industri petro-fertilizer akan beralih kepada bio-fertilizer. Perubahan ini juga membuka peluang bagi negara-negara agribisnis seperti Indonesia.

Kemudian dalam bidang farmasi dan kosmetika juga sedang terjadi proses perubahan yang makin menguntungkan negara-negara agribisnis seperti Indonesa. Makin meningkat kebutuhan hidup akan kebugaran (fittness), hidup sehat dan cantik, akan meningkatkan permintaan akan produk-produk farmasi, toiletries (sabun kecantikan; shampo, detergent, odol, dll). Indonesia yang memiliki kekayaan keragaman biofarmaka terbesar seperti tanaman, obat-obatan, tanaman minyak atsiri dan penghasil minyak olein (minyak sawit, minyak kelapa) berkecenderungan untuk menjadi satu global player pada industri bio-farmasi dan kosmetika.

Selain itu, pasar domestik Indonesia juga sangat besar bagi produk-produk agribisnis. Konsumsi produk agribisnis masyarakat Indonesia masih tergolong terendah di dunia, kecuali konsumsi beras. Karena itu, pasar produk agribisnis di Indonesia masih akan terus bertumbuh setidak-tidaknya sampai 20 tahun ke depan. Dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, dan disertai dengan peningkatan pendapatan (setelah keluar dari krisis), pasar domestik Indonesia untuk produk-produk agribisnis akan bertumbuh dan dengan market size yang cukup besar.

  1. PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS

Untuk mendayagunakan keunggulan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim serta menghadapi tantangan (Otonomi Daerah, Liberalisasi Perdagangan, perubahan pasar internasional lainnya) ke depan, pemerintah (Departemen Pertanian beserta Departemen terkait) sedang mempromosikan pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing (Competitiveness), berkerakyatan (People-Driven), Berkelanjutan (Sustainable) dan terdesentraliasi (Decentralized).

Berbeda dengan pembangunan di masa lalu, di mana pembangunan pertanian dengan pembangunan industri dan jasa berjalan sendiri-sendiri, bahkan cenderung saling terlepas (decoupling), di masa yang akan datang pemerintah akan mengembangkannya secara sinergis melalui pembangunan sistem agribisnis yang mencakup empat subsistem sebagai berikut:

(1) Sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri perbenihan/pembibitan, tanaman, ternak, ikan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat, vaksin ternak./ikan), industri alat dan mesin pertanian (agro-otomotif);

(2) Sub-sistem pertanian primer (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan budidaya yang menghasilkan komoditi pertanian primer (usahatani tanaman pangan, usahatani hortikultura, usahatani tanaman obat-obatan (biofarmaka), usaha perkebunan, usaha peternakan, usaha perikanan, dan usaha kehutanan);

(3) Sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu industri-industri yang mengolah komoditi pertanian primer menjadi olahan seperti industri makanan./minuman, industri pakan, industri barang-barang serat alam, industri farmasi, industri bio-energi dll; dan

(4) Sub-sistem penyedia jasa agribisnis (services for agribusiness) seperti perkreditan, transportasi dan pergudangan, Litbang, Pendidikan SDM, dan kebijakan ekonomi (lihat Davis and Golberg, 1957; Downey and Steven, 1987; Saragih, 1998).

Dengan lingkup pembangunan sistem agribisnis tersebut, maka pembangunan industri, pertanian dan jasa saling memperkuat dan konvergen pada produksi produk-produk agribisnis yang dibutuhkan pasar.

Pada sistem agribisnis pelakunya adalah usaha-usaha agribisnis (firm) yakni usahatani keluarga, usaha kelompok, usaha kecil, usaha menengah, usaha koperasi dan usaha korporasi, baik pada sub-sistem agribisnis hilir, sub-sistem on farm, sub-sistem agribisnis hulu maupun pada sub-sistem penyedia jasa bagi agribisnis. Karena itu, pemerintah sedang dan akan menumbuh-kembangkan dan memperkuat usaha-usaha agribisnis tersebut melalui berbagai instrumen kebijakan yang dimiliki. Pemerintah bukan lagi eksekutor, tetapi berperan sebagai fasilitator, regulator dan promotor pembangunan sistem dan usaha agribisnis.

Sistem dan usaha agribisnis yang sedang dipromosikan adalah sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Hal ini dicirikan antara lain oleh efisiensi yang tinggi, mampu merespon perubahan pasar secara cepat dan efisien, menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, menggunakan inovasi teknologi sebagai sumber pertumbuhan produktivitas dan nilai tambah. Karena itu, dalam upaya mendayagunakan keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim menjadi keunggulan bersaing, pembangunan sistem dan usaha agribisnis akan dipercepat bergeser dari yang mengandalkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (SDM) belum terampil (factor-driven) kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang mengandalkan barang-barang modal dan SDM lebih terampil (capital-driven), dan kemudian pada pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang mengandalkan ilmu pengetahuan, teknologi dan SDM terampil (inovation-driven). Untuk itulah pembangunan industri hulu dan hilir pertanian, pengembangan Litbang dan pendidikan SDM diintegrasikan dengan pembangunan pertanian.

Tidak saja berdaya saing, sistem dan usaha agribisnis yang sedang dipromosikan pemerintah adalah juga berkerakyatan. Hal ini dicirikan oleh pelibatan rakyat banyak dalam sistem dan usaha agribisnis, berlandaskan pada sumber daya yang dimiliki dan atau dikuasai rakyat banyak (dari rakyat) baik sumberdaya alam, sumberdaya teknologi (indegenous technologies), kearifan lokal (local widom), budaya ekonomi lokal (local culture, capital social) dan menjadikan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama agribisnis (oleh rakyat). Karena itu, pengembangan budaya berusaha dan jaringan usaha (community corporate culture) dengan menghibridisasi budaya lokal dengan budaya perusahaan modern sedang dipromosikan pemerintah. Dengan begitu hasil pembangunan sistem dan usaha agribisnis akan secara nyata dinikmati rakyat banyak di setiap daerah (untuk rakyat).

Sistem dan usaha agribisnis yang sedang dipromosikan pemerintah bukan hanya berdaya saing dan berkerakyatan, tetapi juga berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, teknologi maupun dari segi ekologis. Dari segi ekonomi, pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berakar kokoh pada sumberdaya dan organisasi ekonomi lokal dan dengan menjadikan inovasi teknologi dan kreativitas (skill) rakyat banyak sebagai sumber pertumbuhan, akan menghasilkan sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan. Selain itu, teknologi yang dikembangkan ke depan akan diupayakan teknologi ramah lingkungan (green technology). Demikian juga pelestarian sumberdaya alam khususnya keragaman hayati merupakan bagian dari pembangunan sistem agribisnis yakni bagian dari pengembangan industri perbenihan/pembibitan. Dengan begitu, pembangunan sistem dan usaha agribisnis tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek, tetapi juga kepentingan jangka panjang.

Sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkelanjutan tersebut, dilaksanakan secara terdesentralisasi. Pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan berbeda dengan masa lalu yang sangat sentralistik dan top-down (state driven). Ke depan, pembangunan sistem dan usaha agribisnis akan dilakukan secara terdesentralisasi dan lebih mengedepankan kreativitas pelaku agribisnis daerah (people-driven). Hal ini bukan sekedar tuntutan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, melainkan juga karena kebutuhan objektif dari pembangunan agribisnis yang pada dasarnya berbasis pada pendayagunaan sumber daya keragaman agribisnis baik intra maupun inter daerah.

Dalam kaitan dengan desentralisasi pembangunan sistem dan usaha agribisnis ini, saat ini sedang dilakukan pembagian peranan antara pemerintah pusat dan daerah dalam bidang tugas dan tanggung jawab yang menjadi wewenang pemerintah. Prinsipnya adalah sebagai berikut. Semaksimal mungkin pembangunan sistem dan usaha agribisnis haruslah dilaksanakan oleh pelaku agribisnis di setiap daerah. Hanya bidang-bidang tertentu yakni yang tidak dapat dilakukan oleh pelaku agribisnis yang menjadi tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah). Hal-hal yang tidak dapat ditangani pelaku agribisnis pada wilayah Kabupaten/Kodya menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi. Kemudian, hal-hal yang menyangkut kepentingan dua atau lebih propinsi serta kepentingan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dengan pembagian peranan antara pelaku agribisnis dengan peranan pemerintah kabupaten, pemerintah propinsi, dan pemerintah pusat yang demikian akan terjalin suatu sinergis dan secara konvergen menyumbang pada terwujudnya satu sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkelanjutan setiap daerah.

  1. PERANAN PUBLIC RELATION DALAM PEMBANGUNAN AGRIBISNIS

Membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkelanjutan dan terdesentraslitik merupakan tanggung jawab seluruh stake-holder agribisnis, sesuai dengan peranan masing-masing. Dunia usaha merupakan pelaku utama dari pembangunan agribisnis, pemerintah berperan sebagai fasilitator , regulator dan promotor pembangunan agribisnis, peneliti berperan dalam pengembangan teknologi, pendidikan berperan dalam peningkatan sumberdaya manusia. Sedangkan profesi public relation (Humas=Hubungan Masyarakat) berperan dalam membangun public good image baik bagi pembangunan agribisnis maupun bagi perusahaan dan produk agribisnis. Orkestra yang harmonis dari seluruh stake-holder agribisnis tersebutlah yang menjadi penggerak pembangunan sistem agribisnis.

Khusus tentang peranan public ralation (PR) dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis di Indonesia sampai saat ini masih belum berkembang. Padahal fungsi-fungsi PR sangat dibutuhkan dalam pembangunan sistem agribisnis, mulai dari tingkat makro sampai pada tingkat mikro.

Pada tingkat makro, peranan PR dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis diharapkan dapat membangun good-image tentang pentingnya pembangunan agribisnis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini penting mengingat selama ini bekembang anggapan yang merugikan pembangunan agribisnis yakni anggarpan bahwa perekonomian modern tidak mungkin dibangun dengan mengandalkan pertanian. Kalau anggapan ini terus berkemvbang khususnya pada pengambil keputusan pembangunan, maka sulit kita untuk memobilsasi sumberdaya bagi pembangunan agribisnis.

Selain itu, PR sebagai kegiatan opinion-maker (Onong Uchjana Effendi. 1993; Soekarno, 1996; Colin Coulson-Thomson. 1999), juga diperlukan untuk memasyarakatkan paradigma baru yakni membagun sistem agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa. Sosialisasi paradigma seperti ini sangat penting karena peradigma pembangunan yang berkembang selama ini adalah pembangunan ekonomi harus secerpat mungkin beralih dari pertanian ke industri dan kemudian ke sektor jasa, sehingga semakin menurun kontribusi pertanian dalam pendapatan nasional (tanpa memperdulikan jumlah penduduk yang terlibat di dalamnya) dianggap sebagai kemajuan ekonomi.

Bila paradigma pembangunan yang demikian terus berkembang atau tidak berhasil kita rubah, maka para pengambil kebijakan ekonomi akan sulit diharapkan untuk mendesain kebijakan ekonomi yang bersahabat dengan agribisnis.

Masih pada level makro ini, PR agribisnis ke depan hendaknya secara pro-aktif untuk membangun good-image masyarakat internasional tentang kelebihan-kelebihan dari produk agribisnis tropis. Sebagai contoh telah berulang kali ASA (American Soybean Asociation) menuduh minyak sawit kita sebagai produk yang tidak sehat dan merusak lingkungan. Padahal perkebunan kelapa sawit dapat dipandang sebagai “Perkebunan Korban” yang menyerap lebih banyak CO2 (penyebab pemanasan iklim dunia) dibandingkan dengan minyak nabati lain. Selain itu, produk minyak sawit juga terbukti tidak mengandung kolesterol sebagaimana minyak nabati lainnya.

Bentuk-bentuk pelecehan terhadap agribisnis tropis seperti itu diperkirakan akan semakin gencar di masa yang akan datang, sebagai bentuk hambatan baru perdagangan. Karena itu, PR agribisnis Indonesia baru secara pro-aktif harus terus-menerus membangun global good image agribisnis Indonesia. Sedangkan untuk tujuan itu, PR agribisnis Indonesia harus berdasarkan pada kajian-kajian ilmiah sehingga tidak sekedar retorika orator saja, tetapi didukung bukti empiris. Karenanya, PR yang diharapkan ke depan hendaknya scientic PR (SPR) agribisnis, yang mengedepankan informasi-informasi ilmiah atau didasari oleh kajian empiris.

Pada akhirnya peranan SPR tersebut akan operasional pada level operasional (perusahaan agribisnis). Peranan SPR agribisnis pada perusahaan agribisnis, diperkirakan makin penting mengingat semakin pendeknya siklus produk (life cycle product) akibat makin intensifnya inovasi teknologi. Biasanya suatu produk baru tidak langsung dapat diterima oleh masyarakat karena terbatasnya informasi produk baru yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Di sini peranan SPR agribisnis diperlukan yakni mendeseminasi atribut-atribut produk yang bersangkutan kepada konsumen.

Bagaimana setting dan metode kerja SPR agribisnis ini, sampai saat ini memang belum jelas. Oleh karena itu Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian Institut Pertanian Bogor (PS-KMP IPB) ini perlu mengembangkan konsep SPR agribisnis ke depan. Diharapkan seminar hari ini dapat menjadi langkah pertama menghimpun pemikiran dalam pengembangan SPR agriubisnis ke depan.

BAB III

PENUTUP

Kekeliruan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai eksesnya, mengharuskan Indonesia memilih strategi pembangunan ekonomi alternatif. Dari beberapa strategi yang ada dan memenuhi beberapa karakteristik adalah pembangunan agribisnis, yakni suatu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan pertanian (termasuk perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan) dengan pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektorsektor jasa yang terkait di dalamnya.

Strategi pembangunan sistem agribisnis yang bercirikan yakni berbasis pada pemberdayagunaan keragaman sumberdaya yang ada di setiap daerah (domestic resources based), akomodatif terhadap keragaman kualitas sumberdaya manusia yang kita miliki, tidak mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, berorientasi ekspor diperkirakan mampu memecahkan sebagian besar permasalahan perekonomian yang ada. Selain itu, strategi pembangunan sistem agribisnis secara bertahap akan bergerak dinamis menuju pembangunan agribisnis yang digerakkan ilmu pengetahuan, teknologi dan SDM terampil (innovation-driven), diyakini mampu mengantarkan perekonomian Indonesia memiliki daya saing dan bersinergis dalam perekonomian dunia.

Dilihat dari berbagai aspek, seperti potensi sumberdaya yang dimiliki, arah kebijakan pembangunan nasional, potensi pasar domestik dan internasional produk-produk agribisnis, dan peta kompetisi dunia, Indonesia memiliki prospek untuk mengembangkan sistem agribisnis.

Untuk mendayagunakan keunggulan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim serta menghadapi tantangan (Otonomi Daerah, Liberalisasi Perdagangan, perubahan pasar internasional lainnya) ke depan, pemerintah (Departemen Pertanian beserta Departemen terkait) sedang mempromosikan pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing (Competitiveness), berkerakyatan (People-Driven), Berkelanjutan (Sustainable) dan terdesentraliasi (Decentralized).

Membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkelanjutan dan terdesentraslitik merupakan tanggung jawab seluruh stake-holder agribisnis, sesuai dengan peranan masing-masing. Profesi public relation sebagai salah satu pelaku agribisnis berperan dalam membangun public good image baik bagi pembangunan agribisnis maupun bagi perusahaan dan produk agribisnis. Pada tingkat makro, peranan PR dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis diharapkan dapat membangun good-image tentang pentingnya pembangunan agribisnis dalam pembangunan ekonomi nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Colin Coulson-Thomson. 1999. ‘Public Relations, Pedoman Praktis Untuk PR’ (Terjemahan). Bumi Aksara, Jakarta.

Onong Uchjana Effendi. 1993. ‘Human Raltions and Public Relations’. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Saragih, Bungaran. 1998. “Kumpulan Pemikiran Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian”. Yayasan Persada Mulia Indonesia.

Soekarno, SD. 1996. ‘Public Relations, Pengertian Fungsi dan Peranannya’. Penerbit CV. Papiries, Surabaya.

Sudjijono, Budi.2008. Resesi Dunia dan Ekonomi Indonesia.Jakarta: Golden Terayon Press