BAB I
PENDAHULUAN
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.
Definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena;
(1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan;
(2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai;
(3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
B.Tujuan Pembahasan
1. memberikan gambaran keadaan kemiskinan di Indonesia
2. dengan mengetahui tingkat kemiskinan dan apa-apa saja yang menyebabkan kemiskinan kita akan bisa dengan mudah menentukan arah kebijakan
3. untuk memenuhi sarat kuliah perekonomian Indonesia di universitas negeri padang
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator utama kemiskinan berdasarkan pendekatan di atas dapat dilihat dari
(1) kurangnya pangan, sandang, dan perumahan yang tidak layak;
(2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat produksi;
(3) kurangnya kemampuan membaca dan menulis;
(4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
(5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
(6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah;
(7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas;
(8) dan sebagainya. Indikator tersebut dipertegas dengan rumusan yang jelas, yang dibuat oleh Bappenas.
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah :
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan;
(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan;
(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan;
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;
(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah;
(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih;
(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;
(10) lemahnya jaminan rasa aman;
(11) lemahnya partisipasi;
(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga;
(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi, dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
B. Kriteria Kemiskinan Bank Dunia
Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain “pujian” bahwa sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil “spektakuler” dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis kemiskinan misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga tidak mungkin, karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun 1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama kurun waktu 1975–1995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur harapan hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka kematian bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin bertambah.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah:
(1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
(3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;
(4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;
(5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern);
(6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;
(7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya;
(8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);
(9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin, hingga sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
1.Usaha Mikro
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
Jenis Kesulitan | IKR | IK |
1. Kesulitan modal | 34.55% | 44.05% |
2. Pengadaan bahan baku | 20.14% | 12.22% |
3. Pemasaran | 31.70% | 34.00% |
4. Kesulitan lainnya | 13.6% | 9.73% |
Sumber: Data BPS terolah (1999)
IKR: Industri Kecil Rumah Tangga
IK: Industri Kecil
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Darimana Modal Diperoleh
Uraian | IKR | IK |
_ Modal Sendiri _ Modal Pinjaman _ Modal Sendiri dan Pinjaman | 90.36% 3.20% 6.44% | 69.82% 4.76% 25.42% |
Jumlah | 100% | 100% |
Asal Pinjaman_ Bank _ Koperasi _ Institusi Lain Lain-lain |
18.79% 7.09% 8.25% 70.35% |
59.78% 4.85% 7.63% 32.16% |
Sumber: Data BPS terolah (1998)
C.Keuangan Mikro sebagai Peran Strategis
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1. Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, di mana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
2. Banking with the poor Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
3. Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution di mana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 2004 dari 36,10 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (24,80 juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 2005, prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 36,10 juta jiwa menjadi 35,10 juta jiwa. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2005.
Tabel 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah, 1996-2005
tahun | jumlah penduduk miskin (juta) | persentase penduduk miskin | ||||
| kota | desa | kota+desa | kota | desa | kota+desa |
1996 | 9,42 | 24,59 | 34,01 | 13,39 | 19,78 | 17,47 |
1998 | 17,6 | 31,9 | 49,5 | 21,92 | 25,72 | 24,23 |
1999 | 15,64 | 32,33 | 47,97 | 19,41 | 26,03 | 23,43 |
2000 | 12,3 | 26,4 | 38,7 | 14,6 | 22,38 | 19,14 |
2001 | 8,6 | 29,3 | 37,9 | 9,76 | 24,84 | 18,41 |
2002 | 13,3 | 25,1 | 38,4 | 14,46 | 21,1 | 18,2 |
2003 | 12,2 | 25,1 | 37,3 | 13,57 | 20,23 | 17,42 |
2004 | 11,4 | 24,8 | 36,1 | 12,13 | 20,11 | 16,66 |
2005 | 12,4 | 22,7 | 35,1 | 11,37 | 19,51 | 15,97 |
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006. 3
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (Tabel 1). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
D.Penjelasan Teknis dan Sumber Data
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan.
b. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
c. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Februari 2005 dan Maret 2006. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
E.Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka inicukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator-indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Disamping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam, tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
F.Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Berikut beberapa program pengentasan rakyat miskin : (Litbang KOMPAS)
1. Era Presiden Soekarno :
~ Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede)
2. Era Presiden Soeharto :
~ Repelita I – IV melalui program Sektoral & Regional
~ Repelita IV – V melalui program Inpres Desa Tertinggal
~ Program Pembangunan Keluarga Sejahtera
~ Program Kesejahteraan Sosial
~ Tabungan Keluarga Sejahtera
~ Kredit Usaha Keluarga Sejahtera
~ GN-OTA
~ Kredit Usaha Tani
3. Era Presiden BJ Habiebie :
~ Jaring Pengaman Sosial
~ Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan
~Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
~ Program Pengembangan Kecamatan
4. Era Presiden Gusdur :
~ Jaring Pengaman Sosial
~ Kredit Ketahanan Pangan
~ Program Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan
5. Era Presiden Megawati :
~ Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan
~ Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
6. Era Presiden SBY :
~ Pembentukan Tim Koordinasi Penganggulangan Kemiskinan
~ Bantuan Langsung Tunai
~ Program Pengembangan Kecamatan
~ Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
~ Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Untuk lebih memfokuskan tujuan penanggulangan kemiskinan maka data penduduk miskin dikelompokkan dalam (a) Usia lebih dari 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi produktif (usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif). Untuk kelompok tersebut program pemerintah yang dilaksanakan adalah pelayanan sosial. (b) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok masyarakat yang belum produktif (usia sekolah, belum bisa bekerja). Program pemerintah yang dilakukan yaitu penyiapan sosial. (c) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi tidak mendapat pekerjaan, menganggur), program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan inilah sekaligus yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.
Untuk pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat di atas pendanaan disalurkan melalui dua jalur yaitu melibatkan peran lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dan bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat (BLM). Melalui jalur lembaga keuangan dilakukan dengan menghimbau kepada bank-bank yang dikoordinasi oleh pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia) untuk memprioritaskan business plan penyaluran kreditnya pada usaha-usaha mikro yang dimiliki oleh masyarakat.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Total Kemiskinan Penduduk Indonesia menurut Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia berbeda cukup signifikan. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa prosentase penduduk miskin di Indonesia sebanyak 17,76% pada tahun 2006. Sedangkan Bank Dunia melaporkan sebanyal 49%. Hal ini disebabkan karena indikator yang digunakan berbeda. Indikator kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut Pemerintah Republik Indonesia aadalah pengeluaran dibawah $1.55.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc).
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin bertambah.
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor, dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
7 November 2012 pukul 16.55
ass,...
sebelumnya minta maaf mohon ijin untuk mengopi paste hasil karnya untuk bahan pelajaran saya.
trimakasi.,