Pendahuluan
Perencanaan merupakan suatu kunci sukses setiap pengusahaan (undertaking), sebagai kegiatan yang sangat penting bagi suksesnya bisnis. Setiap studi bekenaan dengan kegagalan bisnis menemukan dasar masalah yang sama, apakah hal itu disebut kapitalisasi yang rendah, lokasi yang tidak tepat atau disebabkan karena lemahnya kemampuan manajerial. Semuanya itu sebetulnya berakar pada perencanaan. Pemasaran merupakan salah satu jenis kegiatan bisnis yang sangat penting dan harus direncanakan. Perencanaan pemasaran menegaskan sifat bisnis dan merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh organisasi perusahaan dalam upaya untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Perencanaan seharusnya dilakukan oleh organisasi bisnis yang menghasilkan barang/jasa baik untuk konsumen maupun untuk organisasi bisnis lainnya, untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik atau internasional, baik pemasaran kecil maupun besar. Agar suatu perencanaan bisa sukses harus didasarkan pada suatu akar filosofi atau kerangka konseptual yang memberikan suatu dasar analisis, pelaksanaan/eksekusi dan evaluasi. Suatu pemahaman yang mendalam mengenai pemasaran dan perencanaan harus mendahului setiap usaha manajer untuk mengembangkan dan melaksanakan suatu perencanaan pemasaran. Makalah ini untuk membahas pemasaran dan perencanaan serta hubungannya dengan proses perencanaan. [Photo]
Arti Pemasaran Sebetulnya banyak definisi mengenai pemasaran, akan tetapi pada dasarnya sama, hanya berbeda dalam perumusannya. Di dalam makalah ini pemasaran diartikan sebagai pengarahan kegiatan-kegiatan yang melibatkan kreasi dan distribusi dari produk untuk segmen pasar yang sudah dikenali. Mengarahkan kegiatan-kegiatan, dimaksudkan untuk menentukan kegiatan apa saja yang terkait dengan pengadaan barang atau jasa bagi pelanggan. Kegiatan harus terkontrol didalam pelaksanaannya agar dicapai tujuan yang sudah ditentukan yaitu menghasilkan produk yang bisa memuaskan para pelanggan. Terkait didalam kegiatan pemasaran artinya terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan dalam melaksanakan dan evaluasi dari hasilnya. Pemasaran melibatkan kreasi dan distribusi dari barang atau jasa. Meskipun barang atau jasa sebetulnya dihasilkan oleh unit produksi, walaupun demikian tenaga pemasaran tidak hanya bekenaan dengan kreasi barang atau jasa secara fisik akan tetapi juga dari perspektif kebutuhan dan keinginan pelanggan. Akhirnya perlu disebutkan disini bahwa pemasaran berkenaan dengan kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan secara memuaskan. Pelanggan yang dimaksud ialah pelanggan dari segmen pasar yang sudah dipilih oleh pimpinan perusahaan untuk dilayani. Jadi pelanggan khusus (dari segmen yang akan dilayani) dengan kebutuhan pelanggan yang khusus juga menjadi titik fokal kegiatan pemasaran. Orientasi Pemasaran Pemikiran pemasaran yang benar terfokus pada kebutuhan dan keinginan pelanggan dari segmen yang dilayani oleh perusahaan. Ada filosofi atau orientasi bisnis lainnya yang mungkin dipraktekkan oleh manajer yang mengetahui pemasaran, akan tetapi didalam kenyataanya tidak mencerminkan pemikiran pemasaran yang otentik. Peraga I menunjukkan lima orientasi bisnis yang telah dipergunakan sebagai filosofi operasi dalam pembuatan keputusan manajemen. Istilah “dominant” dalam Peraga I untuk mengenali tujuan inti (=core objective) dimana orientasi mencakupi tujuan yang dimaksudkan, akan tetapi tidak menggunakannya sebagai tujuan pengontrolan terpusat didalam mengorientasikan pemikiran manajer tentang perusahaannya, produknya dan pelanggannya. Istilah “not pertinent” berarti bahan suatu tujuan khusus tidak relevan atau terkait dengan orientasi yang diuraikan diatas. Peraga I, menunjukkan bahwa produksi, produk, dan orientasi penjualan merupakan dorongan dari dalam (=internally driven). Manajer menggunakan orientasi seperti diatas, untuk menentukan apa yang mereka ingin dektekan kepada pasar. Hanya dua orientasi terkahir yaitu “marketing” dan “societal marketing” mengandung elemen suatu “out side-in” atau market-driven philosophy, yang menekankan penemuan peluang pasar, input pasar berkenaan dengan klien organisasi mengenai keunggulan kompetitif dan integrasi lintas wilayah organisasi untuk membuat kepuasan pelanggan. Dua orientasi ini mencerminkan realitas kompetitif menghadapi organisasi dari berbagai jenis, kalau kita memasuki suatu millenium yang baru menggunakan filosofi diatas dalam praktek memerlukan suatu prosedur yang mengubah orientasi pelanggan ini, Kedalam aktivitas pemasaran : PERAGA I. ORIENTASI BISNIS Production Product Selling Marketing Soc. Marketing Desire to capitalize on sinergies and efficencer in production process Dominant Present Present Present Present Attention to design and production of a quality product Not Pertinent Dominant Present Present Present Dedicated resources to stimulating interest and desire for product purchase Not Pertinent Not Pertinent Dominant Present Present Focus on identifying and satisfying needs and wants of customers Not Pertinent Not Pertinent Not Pertinent Dominant Present Cosideration of the short and long-term effect of actions on customers and on society Not Pertinent Not Pertinent Not Pertinent Not Pertinent Dominant Sumber : Marketing planning guide Apa Arti Perencanaan Perencanaan diartikan sebagai kegiatan manajerial yang meliputi kegiatan menganalisis lingkungan, menentukan tujuan, menentukan kegiatan khusus yang diperlukan untuk mencapai tujuan, dan memberikan umpan balik pada hasil. Proses ini harus dibedakan dari rencana (=plan) itu sendiri yang merupakan suatu dokumen tertulis yang memuat hasil dari proses perencanaan. Rencana (=plan) ialah suatu pernyataan tertulis dari apa yang dilakukan dan bagaimana hal itu dikerjakan/dilakukan. Perencanaan (=planning) merupakan proses yang berkelanjutan/bersambungan yang mendahului dan mengikuti fungsi-fungsi lainnya. Rencana (=plan) dibuat dan dilaksanakan dan kemudian hasilnya dipergunakan untuk menyusun rencana baru, sementara proses berlanjut. Alasan Untuk Perencanaan Dalam era globalisasi dimana persaingan bisnis sangat ketat dan ekonomi tidak menentu pendekatan dengan manajemen tradisional menjadi kurang efektif. Pada waktu yang lalu, perhatian diarahkan untuk memperoleh laba dengan mengurangi biaya, bekerja dengan efisien dan mengerjakan sesuatu dengan benar (doing things right), memperkecil jumlah karyawan untuk mengurangi biaya menjadi suatu tindakan yang populer untuk mencapai laba pada akhir 1980-an dan permulaan 1990-an. Tindakan yang dilakukan diatas yaitu usaha mengurangi biaya, bisa mengorbankan kekuatan kompetitif, hanya untuk memperoleh manfaat finansial dalam jangka pendek. Perlu diketahui, perolehan efisiensi tidak dapat memberikan manfaat jangka panjang kalau tidak disertai dengan perolehan dalam keefektifan . Suatu survei dari sebanyak 250 orang eksekutif senior dari Amerika menerangkan bahwa manajemen untuk akhir abad 20-an dan abad 21 perlu memperhatikan perencanaan dan strategi pemasaran yang efektif, yaitu mengerjakan sesuatu dengan benar dan mengerjakan hal-hal yang benar. Survei menemukan bahwa tanpa memperhatikan jenis atau tipe bisnis, agar tetap kompetitif perusahaan harus :
i. Berorientasi pada teknik dan proses perencanaan dengan strategi pemasaran yang kompetitif sebagai kekuatan pendorongnya.
ii. Mengembangkan peramalan yang handal dan,
iii. Merealisasikan strategi pemasaran sebagai suatu adaptasi produktif dari semua sumber perusahaan untuk mencapai peluang baru dalam pasar.
Perencanaan memang tidak bisa mengontrol masa depan, akan tetapi para perencana harus mencoba mengenali dan mengisolasi tindakan masa kini dan ramalan, bagaimana hasil bisa diharapkan mempengaruhi masa depan. Maksud utama perencanaan ialah untuk melihat bahwa apa yang kita kerjakan sekarang akan dipergunakan untuk menaikkan peluang untuk mencapai tujuan masa depan yaitu meningkatkan peluang untuk membuat keputusan sekarang yang lebih baik yang mempengaruhi kinerja untuk waktu yang akan datang. Manfaat Perencanaan Perencanaan memang banyak manfaatnya.
Sebagai contoh, perencanaan membantu menyesuaikan lingkungan yang selalu berubah, mengambil manfaat peluang yang ditimbulkan oleh perubahan, mencapai persetujuan pada isue-isue utama, dan menempatkan tanggung jawab lebih tepat. Disamping itu, perencanaan juga memberikan suatu pengarahan kepada para anggota suatu organisasi disamping itu juga memberikan suatu dasar untuk mendapatkan komitmen dari para karyawan. Visi yang diberikan secara tertulis juga menanamkan suatu loyalitas bagi para karyawan perusahaan. Suatu perusahaan dapat mengambil manfaat dari proses perencanaan, sebab perencanaan merupakan proses yang terus menerus, sistematis yang memungkinkan perusahaan melakukan beberapa kegiatan :
i. Mengevaluasi posisi pasar dari perusahaan, hal ini meliputi apa yang disebut analisis SWOT yaitu suatu analisis untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal.
ii. Menentukan tujuan, prioritas dan strategi untuk diselesaikan dalam periode tertentu. Perencanaan akan memungkinkan perusahaan untuk membuat penilaian mengenai pencapaian tujuan yang telah ditentukan dan melakukan koreksi untuk mencapai tujuan. iii. Mencapai komitmen karyawan yang lebih besar dan “teamwork” yang bertujuan untuk memenuhi tantangan dan memecahkan persoalan yang disebabkan oleh adanya perubahan. Suatu sukses tidak dicapai oleh setiap orang yang melakukan pekerjaan secara paling baik. Sukses merupakan hasil kalau semua orang melakukan pekerjaan secara paling baik untuk mendukung suatu tujuan menyeluruh dimana setiap orang memahami dan melakukan pekerjaan sebagai anggota tim untuk mencapainya.
iv. Mengumpulkan sumber-sumbernya untuk memenuhi perubahan melalui antisipasi dan persiapan. “Menyesuaikan atau mati” merupakan nasehat yang tepat. Proses Perencanaan Pemasaran Kekomplekan lingkungan perusahaan sekarang ini dinyatakan dalam sosial, hukum, ekonomi, persaingan, terbatasnya sumber-sumber memerlukan suatu ketrampilan tingkat tinggi yang memberikan kepada suatu perusahaan kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Bagi manajer pemasaran, proses perencanaan pemasaran menjadi sangat penting. Orientasi pemasaran sosial tidak berdampak pada prosedur operasi perusahaan apabila tidak tercermin didalam kinerja administrasi fungsi perencanaan. Kebutuhan dan keinginan pelanggan merupakan fokus dari operasi suatu perusahaan berdasarkan filosofi pemasaran dan ini harus terlihat dengan nyata sebagai bukti didalam proses perencanaan. Segmen pelanggan yang mana akan dilayani perusahaan ? Dimana kita akan memperoleh keunggulan bersaing didalam melayani segmen yang menjadi sasaran ? Bagaimana fungsi pemasaran akan dilakukan ? Siapa yang akan melakukan fungsi pemasaran ? Berapa jumlah volume penjualan yang akan dicapai ? Apa konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang bagi pelanggan pada khususnya dan anggota masyarakat pada umumnya dari tindakan-tindakan pemasaran yang kita lakukan. Inilah semua pertanyaan yang harus dijawab dengan pemikiran yang mendalam dan rencana pemasaran yang tertulis dengan rapi. Intinya, rencana menjadi suatu alat melalui orientasi pemasaran sosial diimplementasikan kedalam prosedur pengambilan keputusan. Suatu pemahaman mendalam mengenai proses perencanaan pemasaran yang merupakan alat bantu yang sangat berguna untuk membantu para manajer mengorganisasi pemikiran-pemikiran mereka mengenai proses pemasaran dan berbagai metode dan prosedur yang dipergunakan. Apabila mereka berbicara tentang volume penjualan, manajer menghubungkan angka-angka volume penjualan dengan tujuan yang telah dicapai. Suatu studi laporan sikap pelanggan terhadap kegiatan perusahaan menjadi aspek lain dari analisis situasi. Manajer mulai berfikir secara sistematis dan analisis tentang proses pemasaran dalam organisasinya. Ini mungkin salah satu kontribusi terpenting dari keterlibatan manajer didalam perencanaan pemasaran. Sebelum membahas rincian suatu pemasaran perlu dibahas terlebih dahulu hubungan antara rencana pemasaran strategik dan pengoperasian rencana pemasaran. Rencana pemasaran strategik ialah rencana pemasaran jangka panjang untuk wilayah pemasaran, berkenaan dengan tujuan pemasaran menyeluruh dari suatu organisasi, seperti perusahaan dan bagaimana rencana organisasi mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pengoperasian rencana pemasaran merupakan suatu rencana yang rinci menunjukkan suatu hasil analisis situasi dan menawarkan suatu set tujuan yang akan dicapai pada akhir tahun, merupakan suatu pernyataan taktis yang rinci menjelaskan apa yang harus dilakukan kapan dan bagaimana. Dengan perkataan lain, rencana pemasaran strategik berkenaan dengan apa yang harus dilakukan dalam jangka panjang, sementara pengoperasian rencana pemasaran berkenaan dengan apa yang harus dikerjakan dalam suatu periode tertentu, umumnya satu tahun. Rencana pemasaran merupakan suatu dokumen tertulis memuat empat elemen dasar :
i. Suatu ringkasan analisis situasi, meliputi pengembangan umum, analisis pelanggan dan analisis peluang.
ii. Suatu set tujuan.
iii. Suatu pernyataan strategis yang rinci dimana keunggulan bersaing berada dan bagaimana variabel pemasaran akan dikombinasikan untuk mencapai tujuan dan sekaligus dampak finansial. iv. Suatu set prosedur untuk memonitor dan mengontrol rencana melalui umpan balik sebagai hasil. Logika pendekatan ini untuk perencanaan jelas sekali yaitu, kita harus menentukan :
i. Dimana kita sekarang ( analisis situasi )
ii. Kemana kita harus pergi ( tujuan )
iii. Bagaimana kita sampai kesana ( strategi )
iv. Umpan balik apa yang harus kita perlukan untuk mengetahui bahwa kita dalam posisi yang benar ( menindak lanjuti dan mengontrol ) Suatu rencana pemasaran yang lengkap akan bisa memberikan jawaban bagaimana pertanyaan proses perencanaan pemasaran tidak harus dikacaukan dengan rencana departmental atau personal yang dikembangkan dibawah suatu sistem seperti “management by objectives” dengan singkatan MBO, meskipun proses yang dipergunakan untuk mengembangkan kedua jenis perencanaan pada dasarnya sama, rencana MBO biasanya berkenaan dengan kegiatan personal dari pada kegiatan pemasaran. Kelayakan untuk mengkombinasikan produk untuk maksud perencanaan tergantung pada kemiripan kebutuhan dan keinginan serta pentingnya setiap produk bagi posisi pasar perusahaan.
Sebagai contoh, suatu perusahaan mungkin mengembangkan suatu rencana untuk seluruh lini produk yang diperuntukkan bagi pelanggan yang sama. “Frigidaire” menggunakan pendekatan ini dengan lini perabotan rumah tangga (=appliance line). Tema iklan dasar dipergunakan untuk perabotan rumah tangga yang berbeda berlakunya : “I should have bought a frigidaire”. Salah satu kontribusi terpenting dari proses jenis perencanaan ini ialah perspektif manajer yang harus dipergunakan secara tepat. Manajer harus mempelajari seluruh proses pemasaran dari sudut pandang yang menguntungkan pelanggan, yang menciptakan pola baru untuk pengembangan administrasi dan organisasi. Pemahaman proses perencanaan memberikan suatu kerangka untuk mengorganisasi pola berfikir untuk berbagai kegiatan pemasaran yang terjadi dalam suatu organisasi.
Daftar Pustaka
1. Fleschuer, Malcolm, and Gschwandtner, Gerhard. The Marriott Miracle. Personal Selling Power, September 1994.
2. Mayros, Van, and Dolan, Dennis J. How to Design the MKIS that work for your Business Marketing, January 1986.
3. Steven, R. E. Cs. Marketing Planning Guide, Joice Publihing House, 2002
Pemilu 2004 sudah pasti akan diwarnai dengan ‘pertarungan politik’ antar parpol, sekaligus juga antar kandidat calon presiden, caleg, dan antar calon anggota DPD. Hasilnya bisa jadi kekuasaan tetap dipegang ‘pemimpin lama’, atau mungkin pula akan muncul penguasa-penguasa baru, partai baru, dan orang-orang yang baru pula. Lalu, akan berubahkah nasib ekonomi bangsa kita? Tidak dapat dipastikan, kecuali ada ‘janji-janji’ perubahan kebijakan ataupun program ekonomi yang lebih banyak bersifat parsial dan konvensional dari partai peserta pemilu. Saya setuju dengan Khudori (2004) bahwa momen Pemilu 2004 selayaknya bukan saja memungkinkan pergantian orang atau partai melainkan pergantian ideologi atau moral ekonomi yang mengarah pada ciri neoliberal-kapitalistik dewasa ini. Bukan berganti menjadi apa-apa, melainkan kembali ke ideologi atau moral ekonomi Pancasila, sebuah ideologi ekonomi yang ‘ke-Indonesia-an’.
Tulisan ini menjawab pragmatisme atau ketidaktahuan banyak orang sehingga mereka bertanya-tanya, relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (dibawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (dibawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah ‘tercoreng’, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena ‘salah urus’ dan bukannya ‘salah sistem’, apalagi dikait-kaitkan dengan ‘salah ideologi’ atau ‘salah teori’ ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang akut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang ‘kebablasan’. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.
Disinilah relevansi platform (istilah penulis) Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Inilah platform ekonomi yang lebih awal lahir daripada gagasan Amitai Etzioni tentang ‘ekonomi baru’ yang berdimensi moral dalam bukunya The Moral Dimension: Toward a Newf Economics, Free Press 1988). Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.
Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini? Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, 2003).Kita mulai dari platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan praktek ekonomi bermoral ini.
Relevansi platform Ekonomi Pancasila dalam hal ini dikuatkan akutnya perilaku ekonomi di Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Ada lagi maraknya ‘penjarahan alam’ berupa penebangan hutan secara liar (llegal logging) yang terlalu lama ‘didiamkan’ sehingga berakibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan di sebagian wilayah di Jawa, Sumatara, dan pulau lainnya. Yang masih panas-panasnya adalah maraknya ‘pornoaksi’ dangdut erotis lewat media TV yang memang ‘dibiarkan’ di alam kebebasan (liberalisme) saat ini. Tanpa peduli moral, agama, dan dampak sosial bagi masyarakat, para penyanyi, produser, perusahaan (iklan), dan stasiun TV, mengeruk ‘rente’ dari kegiatan ekonomi (bisnis) mereka. Masih ada juga penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal ‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak sekuler.
Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan puluhan juta orang (Khudori, 2004).
Zakat yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai instrumen pemerataan ternyata belum mampu berbuat banyak, padahal potensi untuk itu sangat besar. Banyak orang yang memiliki kekayaan milyaran (termasuk calon-calon presiden kita, Tempo, 2004), namun banyak pula yang pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Itulah kita, hidup di ‘negara kaya’ (SDA) yang ‘miskin’ (terlilit utang), tetapi masih mampu menampilkan gaya hidup mewah, eksklusif, dan glamour dari sebagian elit warganya. Lihatlah pesta-pesta bernilai ratusan juta semalam yang sering diadakan ‘selebriti’, termasuk juga acara-acara pejabat yang sering menyentak hati karena dipaksakan untuk tetap ada dan mewah. Dalam pada itu, kita masih saja berbicara pertumbuhan ekonomi mau 4%, 5%, atau 7%, tanpa berupaya keras memprioritaskan pemerataannya ataupun berusaha sedikit lebih ‘sederhana’ di tengah kemiskinan yang menjerat kurang lebih 36 juta rakyat Indonesia. Kita dapat belajar pada ekonomi rakyat kita, terutama di perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-ekonomi dalam kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya ‘redistribusi pendapatan’.
Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.
Lalu, kenapa saat ini nasionalisme ekonomi seakan-akan telah dianggap tidak penting, tidak relevan, dan tidak perlu diperjuangkan? Lihat saja, petani dan peternsk kecil kita begitu ‘menjerit’ di saat ada impor beras, gula, dan paha ayam. Apa gunanya kampanye cinta produk dalam negeri bila pemihakan terhadap pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen lokal masih setengah hati. Lagi pula, mengapa kita ragu untuk melakukan ‘proteksi’ terhadap petani kita di saat Amerika, Jepang, negara-negara Eropa memberikan perlindungan kepada petani-petani mereka. Lebih lanjut, justru investasi (asing) dan privatisasi BUMN yang saat ini begitu dipercaya sebagai ‘dewa’ pertumbuhan ekonomi dengan melupakan begitu saja sifat pemodal besar untuk mencari tempat yang menguntungkan bagi investasi mereka. Dengan begitu pelarian modal (capital flight) atau relokasi industri adalah wajar bagi mereka, dan memang tidak ada kamus ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘nasionalisme modal’ dalam istilah mereka. Ada kesan kuat bahwa interaksi yang timpang (sub-ordinatif) dengan lembaga asing seperti IMF dan CGI (terkait dengan jebakan utang) telah ‘mengaburkan’ pentingnya kemandirian ekonomi bangsa yang ditopang oleh semangat nasionalisme ekonomi.
Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.
Pemilu 2004 setidaknya merupakan manifestasi demokrasi politik, namun bagaimana dengan manifestasi demokrasi ekonominya? Penghapusan ‘koperasi’ dari penjelasan UUD 45 dan memasukkan ideologi ‘persaingan’ dan ‘pasar bebas’ dalam pasal 33 merupakan runtutan dari kebijakan privatisasi BUMN yang ditentang banyak kalangan. Beralihnya pemilikan BUMN ke investor swasta melalui privatisasi dikhawatirkan justru memperpuruk kesejahteraan ekonomi rakyat (Baswir, 2001). Kita patut prihatin jika aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak terus ‘diobral’ ke pemodal besar apalagi pemodal asing (kasus Indosat). Jika dasar dan pengertian demokrasi ekonomi (dalam penjelasan Pasal 33 ) sudah ‘dihapuskan’, maka dengan platform Ekonomi Pancasila kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’.
Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Meskipun otonomi daerah telah mendorong kemandirian dan kreativitas Pemda dalam membangun wilayah mereka, namun masih saja mereka merasa kesulitan untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah yang lazim diambil adalah optimalisasi PAD melalui pemberlakuan Perda-Perda yang justru kadang ‘bertentangan’ dengan peraturan di atasnya seperti halnya hasil kajian Depdagri menunjukkan ada sekitar 7000 perda yang dinilai tidak layak diterapkan (Sunarsip, 2004). Keadaan ini dimungkinkan karena masih juga terjadi ketimpangan antarwilayah, antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi dan pemerintahan praktis tidak mengubah sedikitpun perimbangan penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap memungut 95 persen, sedangkan PAD seluruh daerah di Indonesia tetap hanya 5 persen. Otonomi hanya mengubah sedikit sisi belanja. Sebelum otonomi pusat membelanjakan 78 persen, kini pusat membelanjakan 70 persen (Khudori, 2004).
Demikian, momentum Pemilu dan Sidang Umum 2004 merupakan saat yang tepat untuk mengoreksi kekeliruan sistem dan paham ekonomi kita, untuk kemudian merombaknya dengan kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke-Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya, sadarkah para capres, caleg, dan calon pejabat pemerintahan lainnya akan kebutuhan adanya platform ekonomi yang khas Indonesia ini? Seandainya mereka (dan partainya) memiliki platform ekonomi tersendiri, kiranya dapat diperdebatkan dengan platform Ekonomi Pancasila. Bangsa kita benar-benar membutuhkan platform ekonomi yang utuh, komprehensif, bernilai historis, dan visio-revolusioner. Bukannya platform ekonomi yang konvensional, parsial, dan ‘eksklusif’ dari bidang bidang lain seperti politik, budaya, dan hukum. Seruan memberantas korupsi atau ‘anti politisi busuk’ saja belum cukup tanpa disertai reformasi (revolusi?) ideologi dan moral ekonomi liberal-kapitalistik yang menumbuhsuburkan praktek korupsi dan kejahatan ekonomi (economic crime) lain di Indonesia. Apakah Pemilu dan Sidang Umum 2004 akan mampu menjawab kebutuhan ini?
Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_21/artikel_4.htm
Awan Santosa, SE -- Asisten Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasil (PUSTEP) UGM.
Dasar Berpikir
1. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, terutama seperti yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, Lima Tahun Kemudian (WFS, fyl), dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia.
2. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Permasalahan
1. Dalam hal ini, sekalipun ketahanan pangan ditingkat nasional (dilihat dari perbandingan antara jumlah produksi dan konsumsi total) relatif telah dapat dicapai, pada kenyataanya ketahanan pangan dibeberapa daerah tertentu dan ketahanan pangan dibanyak keluarga masih sangat rentan.
2. Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor)
b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi
c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan
d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai
f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah
g. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
Tanpa menyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai.
3. Disadari sepenuhnya bahwa telah terjadi perubahan tatanan sosial politik masyarakat sehingga berbagai aspek pembangunan telah lebih terdesentralisasi dan lebih berbasis pada partisipasi masyarakat. Permasalahan timbul terutama karena proses desentralisasi tersebut masih berada pada tahap proses belajar bagi semua pihak. Hal tersebut semakin diperberat ditengah kondisi dimana anggaran pemerintah semakin terbatas, perencanaan dan pelaksanaan pengembangan pangan yang kurang terfokus, berpendekatan proyek, parsial, dan tidak berkesinambungan.
4. Globalisasi dalam berbagai aspek sosial ekonomi pada kenyaraannya telah menjadi ancaman serius bagi usaha membangun ketahanan pangan jangka panjang, walaupun disadari pula menjadi peluang jika dapat diwujudkan suatu perdagangan internasional pangan yang adil (fair trade).
Usulan Agenda
1. Masalah ketahanan pangan adalah masalah bersama yang menjadi tanggung jawab semua pihak. Untuk itu perlu dikembangkan suatu komitmen dan kerjasama diantara semua pihak terutama dalam bentuk kerjasama yang erat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (yang antara lain direpresentasikan oleh kalangan LSM dan perguruan tinggi). Dalam hal ini, Dewan Ketahanan Pangan yang telah didirikan dari sisi pemerintah, perlu diperkuat dan dilengkapi dengan forum atau lembaga lain yang mampu menampung partisipasi swasta, LSM dan perguruan tinggi.
2. Tantangan yang dihadapi masyarakat, khususnya LSM dan perguruan tinggi, dalam pengembangan ketahanan pangan adalah :
a. Melanjutkan komitmen dan langkah nyata dalam mendampingi petani dan masyarakat pada umumnya;
b. Terus mengusahakan agar komitmen politik pemerintah dan legistatif dalam mendukung ketahanan pangan dapat terus dijaga dan diperkuat;
c. Terus memberikan masukan bagi pelaksanaan manajemen pangan nasional yang sesuai dengan tujuan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan;
d. Bersama pemerintah dan swasta melakukan berbagai usaha untuk menghadapi tekanan dan dampak negatif globalisasi dan perdagangan pangan internasional.
3. Mengusulkan kepada pemerintah dan swasta agar dapat memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan sebagai berikut :
a. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif.
b. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.
c. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.
d. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa.
e. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai.
f. Mempromosikan produksi dan konsumsi aneka-ragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.
g. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah.
h. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan;
i. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan pola konsumsi pangan beraneka.
4. Mengusulkan kepada Dewan Ketahanan Pangan untuk :
a. Atas dasar keberpihakan yang jelas kepada rakyat kecil (produsen dan konsumen) melakukan rekonstruksi kebijakan pangan yang mampu mengakomodasi berbagai perkembangan dan kepentingan dalam mengantisipasi berbagai tantangan masa depan, terutama dengan mengedepankan peran pembangunan ketahanan pangan di daerah atas dasar partisipasi masyarakat.
b. Terus memperjuangkan perdagangan internasional yang adil (fair trade) melalui instrumentasi kebijakan yang efektif dan memberi manfaat langsung kepada rakyat;
c. Mendorong kebijakan fiskal melalui alokasi anggaran belanja pemerintah dan penetapan pajak yang berpihak kepada ketahanan pangan rakyat;
d. Mendorong kebijakan moneter melalui pengelolaan tingkat bunga dan pengembangan sistem pembiayaan yang sesuai.
5. Mengusulkan kepada berbagai pihak yang terkait agar dalam jangka pendek (Januari atau Februari 2003) dapat diselenggarakan pertemuan untuk :
a. Mengaktualisasikan “jaringan ketahanan pangan” yang mencakup keterlibatan pemerintah, swasta, dan LSM
b. Merinci agenda pengembangan ketahanan pangan diatas dalam bentuk rencana aksi
c. Menghimpun “best-practices” pendampingan yang dilakukan LSM dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan ketahanan pangan masyarakat.Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi -- Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB)
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_3.htm