1.1. Latar Belakang
Setiap kegiatan investasi tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan tingkat suku bunga,kredit,dan giro wajib minimum .Dikarenakan hal ini merupakan suatu yang penting dalam melakukan investasi makanya pembahasan ini dilakukan,supaya bisa lebih mendalami dan memahami seberapa besar pengaruhnya bagi dunia usaha,masyarakat dan perekonomian nasional.Misalnya,apabila suku bunga mengalami kenaikan maka masyarakat cendrunga menabung dari pada berinvestasi.Sedankan waktu suku bunga mengalami penurunan makan masyarakat lebih suka melakukan investasi dari pada menabung di karenakan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada menabung.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah tingkat bunga SBI, tingkat bunga kredit investasi, GWM, dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional?
2. Dari variabel tingkat bunga SBI, tingkat bunga kredit investasi, GWM, dan inflasi, variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengetahui pengaruh dari tingkat bunga SBI, tingkat bunga kredit investasi, GWM, dan inflasi terhadap jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional.
2. Menganalisis variabel yang dominan berpengaruh terhadap jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional.
1.4. Manfaat Penelitian
1.Dapat memberikan tambahan informasi mengenai penawaran kredit investasi oleh bank umum nasional.
2. Dapat dijadikan sebagai referensi yang akan mengkaji pengaruh dari tingkat bunga SBI, tingkat bunga kredit investasi, GWM, dan inflasi terhadap jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional
3. Dapat memberikan masukan bagi pihak yang berkepentingan guna menganalisa variabel-variabel yang mempengaruhi jumlah kredit investasi yang ditawarkan bank umum nasional.
II. Pembahasan
Hidup atau matinya suatu bank bisa bermula dari kredit. Bank-bank di negeri ini masih mengandalkan pendapatan dari penyaluran kredit. Bahkan, melaju tidaknya roda perekonomian di negeri ini bisa sangat bergantung pada kredit bank. Maklum, bank, terutama kegiatan penyaluran kreditnya, masih menjadi “nyawa” bagi bank sendiri sekaligus motor penggerak perekonomian dan keduanya saling berkait.
Keberadaan bank merupakan hal yang penting dalam dunia usaha. Keterkaitan antara dunia usaha dengan lembaga keuangan bank memang tidak bisa dilepaskan apalagi dalam pengertian investasi dan kredit. Pihak bank akan menyalurkan kredit berupa kredit investasi dan modal kerja yang dibutuhkan oleh pihak dunia usaha. Dalam hal inilah pihak bank terus mengembangkan kompetensi yang lain di bidang kredit untuk menggalang pertumbuhan kredit yang berkesinambungan sekaligus menjalankan fungsinya sebagai jasa intermediasi keuangan.
Sebagaimana umumnya negara berkembang, sumber utama pembiayaan investasi di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan. Lambatnya penyaluran kredit perbankan di Indonesia setelah krisis 1997 dituding sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan antara lain disebabkan oleh masih berlangsungnya konsolidasi internal perbankan dan belum mampunya sektor riil menyerap kredit. Dalam kondisi resesi ekonomi setelah krisis, penurunan kredit terutama disebabkan adanya fenomena “credit crunch” selain itu terjadi juga karena melemahnya permintaan kredit dari sektor usaha akibat rendahnya prospek investasi dan belum pulihnya kondisi keuangan perusahaan.
Di tahun 2000an, perekonomian Indonesia mulai beranjak pulih, begitu pula dengan sektor perbankan yang mulai aktif dalam melaksanakan fungsinya sebagai intermediasi meskipun belum sepenuhnya terlaksana. Namun pada masa ini ada fenomena yang disebut “credit crunch” karena dana berlimpah tetapi tidak mengalir ke sektor riil, yang maksudnya adalah walaupun permintaan kredit oleh sektor riil meningkat, seiring mulai berjalannya perekonomian, tetapi sektor perbankan masih enggan menyalurkan dananya kepada sektor ini karena melihat pengalaman buruk di masa lalu dimana banyak korporat kelas kakap yang belum melunasi utangnya dan sampai saat ini hanya membayar bunganya saja, sehingga utang makin menumpuk.
credit crunch dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan suplai kredit perbankan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit pada dunia usaha. Keengganan bank dalam menyalurkan kredit tersebut tercermin dari meningkatnya spread yaitu selisih antara suku bunga pinjaman dan suku bunga dana dan semakin ketatnya kriteria untuk memperoleh kredit. Dalam kondisi yang ekstrim, credit crunch terjadi dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak memberikan kredit terhadap nasabah tertentu atau sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga berapapun.
Berbeda ketika pada masa sebelum krisis (tahun 1997 dan sebelumnya), dimana bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta berlomba-lomba memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar. Kondisi perkembangan kredit perbankan pada sektor riil memang belum sepenuhnya pulih seperti sedia kala, banyak perusahaan terutama yang berskala besar, terlibat utang sehingga belum mampu beroperasi secara normal.
Walaupun dalam perkembangannya kecenderungan rasio kredit yang tersalur hanya sedikit untuk investasi, seperti yang terlihat dalam kredit investasi mulai mengalami peningkatan namun dalam perkembangannya belum berjalan seperti yang diharapkan dan pertumbuhannya belum cukup menjadi pelumas dalam mendorong perekonomian ekonomi Indonesia untuk kembali pada tingkat yang seharusnya.
Selama ini, sektor korporat dan infrastruktur, termasuk kredit investasinya, masih didominasi kelompok bank BUMN sedangkan kelompok bank swasta (asing dan campuran) cenderung memfokuskan diri pada kredit konsumsi dalam lima tahun terakhir dan merupakan kelompok bank yang paling agresif membidik pasar konsumsi padahal pada umumnya kredit konsumsi bukan merupakan kredit yang tergolong produktif dan pemberian kredit kepada sektor-sektor non produktif oleh bank jelas tidak sejalan dengan tujuan pemberian kesempatan kepada bank untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi nasional karena tidak adanya keuntungan yang dipetik pemerintah dalam bentuk tambahan kemampuan penyediaan kredit dari industri perbankan untuk pembangunan perekonomian Indonesia. Partisipasi pihak asing dalam industri perbankan kurang memberikan dampak yang optimal bagi pertumbuhan perekonomian nasional tampak dari kecenderungan bank-bank yang dimiliki pihak asing untuk menyalurkan kreditnya dalam bentuk kredit konsumsi, terutama kredit kendaraan bermotor, kredit multiguna dan kartu kredit.
Dapat dilihat saat ini kecenderungan rasio kredit yang tersalur lebih banyak untuk keperluan konsumtif dan modal kerja, hanya sedikit untuk investasi. Tendensi kredit konsumsi meningkat dari tahun ke tahun dan diprediksi terus membesar sejalan dengan bank nasional yang mulai tampak mengerem kredit ke sektor korporat dan infrastruktur (investasi) karena adanya trauma kredit macet dan penyeragaman aktiva produktif bank-bank.
Adanya penurunan pertumbuhan kredit investasi yang disalurkan bank umum nasional selama beberapa tahun terakhir tersebut mencerminkan perputaran dana di sektor perbankan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber pembiayaan investasi dan produksi bagi sektor riil padahal aliran dana yang ditujukan untuk membiayai kegiatan investasi dan produksi merupakan penyangga utama perekonomian suatu negara.
Investasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk memproduksi output di masa yang akan datang dan hal itu sangat mempengaruhi sumbangan sektor perbankan terhadap pembangunan ekonomi yang dapat dilihat besarnya sumbangan pada PDB (Produk Domestik Bruto) dan hal itu dapat menunjukkan bahwa bank mempunyai sumbangan yang cukup berarti bagi pertumbuhan PDB di Indonesia salah satunya melalui penyaluran kredit investasinya.
Keberadaan bank memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi makro-ekonomi. Penurunan laju inflasi selama tahun 2000an memberikan ruang gerak dan ekspektasi pasar untuk menurunkan suku bunga SBI. Turunnya suku bunga SBI diharapkan dapat semakin mendorong aktivitas perekonomian melalui penurunan suku bunga kredit perbankan, khususnya kredit investasi. Akan tetapi, karena berbagai penyebab, penurunan suku bunga ini belum sepenuhnya ditransmisikan dalam penurunan suku bunga kredit yang diharapkan mendorong investasi pada sektor riil.
Secara teori tingkat bunga yang dibayarkan bank adalah tingkat bunga nominal yang merupakan penjumlahan tingkat bunga riil ditambah inflasi.Adanya kenaikan atau penurunan inflasi akan berdampak pada kenaikan atau penurunan tingkat bunga kredit.
Pada tahun 2002, kondisi makroekonomi menunjukkan perkembangan yang kondusif. Ini terlihat dari terkendalinya uang primer, serta laju inflasi dan nilai tukar yang menunjukkan perkembangan yang positif. Oleh karena itulah, Bank Indonesia mulai memberikan sinyal penurunan tingkat bunga secara bertahap. Hal ini dilakukan melalui penurunan tingkat bunga instrumen moneter yang salah satunya adalah SBI. Walaupun tingkat bunga SBI mengalami penurunan, tingkat bunga kredit relatif rigid.
Sayangnya, kondisi makro ekonomi Indonesia sedang tidak bersahabat. Suku bunga cenderung tinggi, kebijakan kenaikan harga BBM pada awal Oktober 2005 dan nilai rupiah yang tidak stabil juga memicu kenaikan inflasi lebih lanjut, Sementara itu mengikuti perkembangan laju inflasi yang cenderung meningkat dan untuk mempertahankan agar tingkat bunga riil tetap positif, maka tingkat bunga baik SBI maupun deposito juga ikut bergerak naik.
Bank Indonesia (BI) sebagai penentu kebijakan moneter langsung merespon laju inflasi yang sangat tinggi dengan menaikkan BI-Rate menjadi 12,25%. Kondisi tersebut tentunya dapat berpengaruh pada sistem perbankan nasional karena BI-Rate sebagai tingkat bunga panduan ke depan tentunya akan direspon oleh sistem perbankan dengan melakukan penyesuaian terhadap tingkat bunga yang akan ditawarkan kepada nasabah. Kenaikan tingkat bunga perbankan tersebut, tentunya dapat berdampak negatif terhadap fungsi intermediasi yang mulai bergairah dan kenaikan kredit macet.
Masih relatif tingginya suku bunga kredit di tengah-tengah masih adanya ketidakpastian prospek usaha tentu saja akan mengurangi semangat sektor dunia usaha untuk melakukan investasi. Walaupun dilihat dari beberapa indikator, fungsi intermediasi perbankan melalui penyaluran kredit telah menunjukkan perbaikan, namun dalam kenyataannya penyaluran kredit perbankan pada sektor riil belum dapat berlangsung dengan cepat karena berbagai permasalahan yang dihadapai oleh sektor riil itu sendiri meskipun hal tersebut juga ada kaitannya dengan konsolidasi internal di perbankan.
Gejolak suku bunga dan inflasi menjadi dua faktor penting yang mempengaruhi aktivitas penyaluran kredit. Keduanya tidak hanya mendorong suku bunga kredit, tapi juga membuat risiko kredit macet menjadi besar. Tetapi dalam kondisi seperti ini, kegiatan kredit perbankan harus tetap berlangsung.
Di lain sisi kontrol BI atas inflasi juga sangat terbatas, karena inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, BI selalu melakukan assesmen terhadap perkembangan perekonomian, khususnya terhadap kemungkinan tekanan inflasi. Selanjutnya respon kebijakan moneter didasarkan kepada hasil assesmen tersebut. Perlu disampaikan pula bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan hanya melalui kebijakan moneter, melainkan juga kebijakan ekonomi makro lainnya seperti kebijakan fiskal dan kebijakan di sektor riil. Untuk itulah koordinasi dan kerjasama antar lembaga lintas sektoral sangatlah penting dalam menangani masalah inflasi ini.
Variabel lain yang berkaitan dengan penawaran kredit adalah adanya penetapan giro wajib minimum (GWM) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral sebagai antisipasi atas kenaikan jumlah uang beredar dan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia untuk mempengaruhi likuiditas bank umum.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Dengan berbagai langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia, maka perekonomian pada tahun-tahun berikutnya diharapkan semakin mengalami perkembangan yang positif. Kondisi perbankan pun diharapkan akan terus mengalami perkembangan yang lebih baik sehingga fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan dengan baik. Bank Indonesia sendiri telah memperkirakan bahwa dengan membaiknya fungsi intermediasi ini, maka kredit yang disalurkan khususnya kredit investasi akan mencapai pertumbuhan yang cukup baik. Pertumbuhan penyaluran kredit investasi ini diharapkan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena itulah, diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang mendorong penyaluran kredit perbankan kepada masyarakat khususnya dunia usaha terutama melalui upaya untuk mendorong penyaluran kredit di sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Kestabilan makroekonomi tidak dapat bermanfaat bagi proses pemulihan ekonomi jika infrastruktur lainnya tidak mendukung. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan reformasi struktural untuk menciptakan perekonomian yang efisien salah satunya demi mengembalikan kepercayaan dunia usaha untuk melakukan investasi dan kegiatan produktif lainnya di Indonesia karena Investasi merupakan komponen PDB yang relatif lebih sulit diprediksi pergerakannya di masa mendatang dibanding dengan komponen lain seperti konsumsi, ekspor dan impor.
3.2. Saran
Seperti yang dikemukakan tiga pilar strategi untuk mendorong investasi. Pertama, mengatasi masalah-masalah berkaitan dengan iklim investasi, termasuk di sektor infrastruktur. Kedua, mempercepat penanganan kasus-kasus penting (high profile), terutama karena persepsi yang diciptakannya. Ketiga, mengatasi berbagai isu di sektor finansial, terutama dalam rangka mendorong penyaluran kredit dan memperbaiki struktur pasar
DAFTAR PUSTAKA
Srategi Pemasaran.Warren J Kegen,
geogle,KOMPAS,Gatra,
0 Response to "PENGARUH TINGKAT BUNGA,KREDIT DAN GIRO WAJIB MINIMUM TERHADAP JUMLAH INVESTASI BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA"
Posting Komentar